Universitas Mulia Jadi Wakil Kalimantan dalam Program Nasional MKWK 2025: Ketika Nilai Kebangsaan Tumbuh dari Balikpapan

Wisnu Hera Pamungkas, S.T.P., M.Eng. Wakil Rektor Bidang Akademik & Sistem Informasi Universitas Mulia (foto : Humas Universitas Mulia)
Smartrt.news, BALIKPAPAN – Di tengah dominasi kampus-kampus besar di Pulau Jawa, sebuah kabar menggembirakan datang dari timur Indonesia. Universitas Mulia, kampus technopreneur yang tumbuh di Kota Balikpapan, tercatat sebagai satu-satunya perguruan tinggi di Kalimantan yang lolos dalam Program Bantuan Pengembangan Model Pembelajaran MKWK (Mata Kuliah Wajib Kurikulum) Berbasis Proyek Tahun 2025.
Dari 40 kampus se-Indonesia yang terseleksi, nama Universitas Mulia mungkin terdengar sunyi di tengah gegap gempita perguruan tinggi ternama. Namun justru di sanalah nilai pentingnya: semangat penguatan kebangsaan tak mengenal batas geografis.
Nilai-nilai itu bisa tumbuh di mana saja, bahkan dari tepi hutan, dari kota penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN), dari ruang-ruang kelas yang barangkali tak dilengkapi segala kemewahan, tetapi menyala oleh semangat.
Program ini bukan sekadar proyek bantuan. Ia lahir dari kegelisahan: mengapa mata kuliah seperti Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Agama, dan Bahasa Indonesia sering kali redup maknanya di mata mahasiswa? Mengapa nilai-nilai luhur itu hanya berakhir sebagai hafalan?
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Tinggi merespons kegelisahan itu dengan cara yang lebih hidup—dengan membangun kurikulum berbasis Project-Based Learning (PBL), menyatukan prinsip Outcome-Based Education (OBE) dan Design Thinking. Di sinilah Universitas Mulia mengambil posisi: membawa nilai ke dalam tindakan nyata.
Di ruang-ruang kelas Universitas Mulia, para mahasiswa tidak lagi hanya duduk dan mencatat. Mereka turun ke lapangan, menyelami kehidupan nyata warga Balikpapan dan kawasan sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN).
Mereka berdiskusi lintas prodi, membentuk tim kecil, menelaah isu sosial—dari toleransi hingga etika digital, dari literasi publik hingga krisis lingkungan. Mereka tidak diminta menjawab soal, tapi merumuskan solusi.
Di satu semester, sekelompok mahasiswa merancang program literasi digital untuk pelajar di pinggiran kota. Di semester lain, kelompok lain mencoba membangun platform mikro untuk promosi produk UMKM warga.
Proyek-proyek ini mungkin sederhana. Tapi justru dari hal-hal kecil itu, mereka belajar makna Pancasila, merasakan denyut keberagaman, dan mengalami langsung wajah Indonesia yang plural.
Nilai kebangsaan tak lagi abstrak. Ia hadir dalam keputusan sehari-hari, dalam bagaimana mahasiswa berbicara, menyapa warga, atau merancang teknologi yang inklusif. Pembelajaran menjadi pengalaman. Nilai menjadi tindakan.
Sebagai penanggung jawab program, saya tidak melihat keikutsertaan ini sebagai puncak, melainkan titik awal dari tanggung jawab yang lebih besar.
Predikat “satu-satunya wakil Kalimantan” bukan alasan untuk berbangga diri, melainkan pemicu untuk membuktikan bahwa kebangsaan bisa tumbuh kuat dari pinggiran, dari lokalitas, dari mereka yang tak selalu terdengar suaranya.
Kurikulum kebangsaan bukan tempat mengulang pidato. Ia harus menjadi ruang hidup, tempat nilai-nilai dijalani, diuji, bahkan dipertanyakan dengan jujur.
Karena pada akhirnya, menjadi Indonesia bukan sekadar menghafal semboyan, melainkan merasakannya, menegakkannya, dan mewujudkannya—di jalan kecil, di gang sempit, di balik layar proyek mahasiswa yang mungkin tak viral, tapi membekas.
Dan dari ruang itu, Universitas Mulia ingin terus menyuarakan: nilai kebangsaan tak hanya milik pusat. Ia hidup, tumbuh, dan mengakar—juga dari Kalimantan. / Humas Universitas Mulia
Oleh: Wisnu Hera Pamungkas, S.T.P., M.Eng.
Wakil Rektor Bidang Akademik & Sistem Informasi
Universitas Mulia