Category Ad 1

Sungai Ampal Balikpapan: Saksi Perubahan Wajah Balikpapan dari Hutan Bakau hingga Beton Kota

Oleh kontributor Sudarman pada 17 Agu 2025, 15:11 WIB

Puluhan tahun silam, Sungai Ampal Balikpapan, bukan hanya sumber penghidupan, juga menjadi ruang hiburan warga / Smartrt / Sudarman

Smartrt.news, BALIKPAPAN – Perubahan besar telah mewarnai kawasan muara Sungai Ampal dan pesisir Balikpapan Permai sejak puluhan tahun silam. Boedi Liliono, Kepala Satpol PP Balikpapan, yang tinggal di wilayah itu sejak era 1960-an, menjadi saksi hidup bagaimana alam dan permukiman berubah dari masa ke masa.

Menurutnya, dahulu kawasan muara terbentang lebih luas, dengan hutan bakau hanya tumbuh di bagian paling ujung. “Dulu, aliran sungainya lebarnya cuma sekitar 10 meter, tidak terlalu lebar. Saat surut, airnya berbelok dan membentuk seperti danau kecil sebelum mengalir keluar,” kenangnya.

Sebelum 1979, aliran sungai bahkan tidak lurus seperti sekarang. “Tahun 1979 baru lurus. Dulu malah berbelok ke arah belakang pasar Balikpapan Permai lewat dekat pabrik botol, baru keluar ke muara,” ujarnya.

Kala itu, pepohonan rimbun masih mendominasi. “Semua hutan, banyak pohon karet, manggis, dan kayu. Sekarang sebagian sudah jadi permukiman. Dulu RSS di kawasan penegak belum ada, hanya jalan setapak,” katanya.

Pada dekade 1970–1980-an, rumah panggung menjadi pemandangan umum di sekitar muara. “Rumah murah pun dibangun bertiang, makanya disebut anak kolong,” tutur Boedi sambil tersenyum.

Mata pencaharian warga pun banyak bertumpu pada laut. “Kalau dulu, lumayan banyak nelayan, walau di seberang hanya satu kampung,” ujarnya.

Hiburan dan Kenangan Lama

Bukan hanya sumber penghidupan, tepi Sungai Ampal juga menjadi ruang hiburan warga. Di era 1970-an, sebuah kebun binatang berdiri di kawasan Damai, tak jauh dari aliran sungai. Anak-anak datang bersama keluarga, menikmati udara segar dan melihat berbagai satwa.

Namun, banjir yang kerap melanda dan perubahan tata ruang membuat kebun binatang itu akhirnya dipindahkan. “Dulu di Damai itu sempat ada kebun binatangnya, tapi karena banjir jadi ditutup,” kenang Boedi.

Memasuki 1980-an, wajah Sungai Ampal mulai berubah. Pertumbuhan kota yang pesat memicu pembangunan rumah dan toko di sepanjang bantaran. Bakau ditebang, lahan diuruk, dan jalur air dipersempit. Pada musim hujan, luapan air semakin sering terjadi, sedangkan di musim kemarau, alirannya menyusut drastis.

Direktur Eksekutif Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL), Jufriansyah, menyebut penyebabnya bukan hanya hilangnya vegetasi bakau, tetapi juga sedimentasi dari perbukitan di hulu.

“Material pasir dan tanah dari bukit ikut terbawa hujan ke sungai, membuat dasar sungai dangkal. Ditambah limbah rumah tangga yang dibuang sembarangan, kapasitas air makin berkurang,” jelasnya, Sabtu (16/8/2025).

Pusat perdagangan modern mulai mengambil alih ruang yang dulu menjadi kawasan tangkapan air. Mal, hotel, dan ruko menjulang, mengapit jalur sungai yang kini nyaris tak terlihat dari jalan raya. Aktivitas nelayan pun kian jarang ditemui.

Di satu sisi, pembangunan membawa kemudahan bagi warga kota. Namun di sisi lain, fungsi ekologis Sungai Ampal sebagai pengendali banjir alami semakin tergerus. Data Pemkot Balikpapan mencatat, panjang Sungai Ampal kini sekitar 4,69 kilometer dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 2.527 hektare, sebagian besar sudah menjadi kawasan padat bangunan.

Upaya Pemulihan

Seiring meningkatnya banjir di kawasan MT Haryono dan sekitarnya, Pemerintah Kota Balikpapan meluncurkan program pembangunan bendungan pengendali (bendali) di hulu Sungai Ampal. Bendali ini diharapkan dapat menampung debit air saat hujan lebat, mengurangi risiko banjir, dan mengembalikan sebagian fungsi ekosistem sungai.

Proses normalisasi pun dilakukan, termasuk pengerukan sedimen dan pelebaran drainase. Hingga pertengahan 2025, pembebasan lahan untuk bendali telah mencapai 94 persen.

Bagi sebagian warga, Sungai Ampal bukan sekadar aliran air. Ia adalah kenangan masa kecil, sumber penghidupan, dan ruang sosial yang kini tinggal cerita. “Kalau lewat di jembatan dekat Damai, saya masih bisa membayangkan suasana dulu. Perahu hilir-mudik, suara anak-anak mandi sambil tertawa, dan bau laut yang menyapa,” ujar Jufri.

Kini, Sungai Ampal berdiri sebagai saksi bisu perjalanan Balikpapan: dari kota pesisir yang sederhana menjadi metropolis yang sibuk. Di balik beton dan lampu kota, riwayatnya tetap mengalir mengajak siapa saja yang mau mendengar untuk tidak melupakan asal-usul dan pentingnya menjaga air kehidupan.

Tinggalkan Komentar