Strategi Pengelolaan Air Permukaan di Perkotaan #BWF 3

SMARTRT.NEWS – Tantangan besar di Indonesia saat ini pertumbuhan populasi yang begitu pesat. Antara tahun 2024 hingga 2030, diperkirakan populasi akan bertambah dari 278 juta menjadi 295 juta penduduk.
Pendiri Indonesia Water Institute (IWI) yang juga Senior Advisor di Kementerian PUPR, Firdaus Ali, mengingatkan bahwa dengan kondisi yang ada, penting untuk memperhatikan bahwa 55% populasi tinggal di perkotaan.
“Hal ini tentu memberi tekanan besar pada ketersediaan air dan infrastruktur perkotaan. Distribusi yang tidak merata juga menjadi tantangan tersendiri,” ujarnya.
Mengutip dokumen Balikpapan Water Forum (BWF), Firdaus menyampaikan laju pertumbuhan penduduk Indonesia cukup tinggi, rata-rata 1,36% per tahun. Namun, yang mengkhawatirkan adalah peningkatan akses terhadap air minum hanya 0,52% per tahun.
“Ini artinya kita memiliki kesenjangan cukup besar antara pertumbuhan penduduk dan ketersediaan air bersih. Ini menjadi salah satu urgensi mengapa kita harus segera mengambil langkah-langkah strategis.”
Selain itu, ancaman krisis air dan pangan semakin nyata. Perubahan iklim memperparah kondisi ini dengan menyebabkan peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi. Seperti banjir ekstrem, anomali cuaca dan cuaca ekstrem.
“Indonesia memiliki potensi air sangat besar, yakni 2,78 triliun meter kubik per tahun. Tapi, hanya sebagian kecil yang bisa dimanfaatkan. Bahkan yang sudah bisa dimanfaatkan belum terkelola baik. Ini sebuah paradoks,” sesalnya.
Potensi Keberlimpahan Air
Wakil Presiden Asia Water Council, itu mengatakan selama ini banyak potensi air di setiap pulau, namun berbanding terbalik dengan kondisi infrastruktur yang ada. Jika membandingkan dengan negara lain, Indonesia masih punya PR besar untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan air.
“Kita perlu berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur air,” jelasnya.
Dalam kasus krisis air, ia berpendapat bahwa sistem perpipaan belum efisien dan perlu ditingkatkan. Ini akan menjadi fokus perhatian untuk memperbaikinya.
Salah satu masalah serius yang dihadapi tingkat kehilangan air atau Non Revenue Water (NRW). Tahun 2021, tingkat kehilangan air mencapai 33,72%. Artinya, sekitar sepertiga air yang sudah diproses hilang karena kebocoran dan berbagai penyebab lain.
“Ini menunjukkan betapa mendesaknya kita melakukan perbaikan sistem perpipaan dan manajemennya. Bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan air baku di IKN. Kita akan memaksimalkan pemanfaatan Intake Sungai Sepaku dan Bendungan Sepaku Semoi.”
Dalam memilih teknologi pengolahan air, kita perlu mempertimbangkan banyak hal: mulai kualitas air limbah, fluktuasi beban, ketersediaan lahan. Kemudian biaya investasi, kemudahan operasional, hingga keberlanjutan.
“Kita harus memilih teknologi tepat dan adaptif dengan kondisi kita.”
Ini menekankan pentingnya inovasi dalam pengelolaan air. Pemerintah perlu mengembangkan teknologi ramah lingkungan, mengintegrasikan sistem yang adaptif, memanfaatkan teknologi cerdas. Termasuk membangun kolaborasi dengan berbagai pihak.
Dengan inovasi dan kolaborasi, hal itu bisa meningkatkan efektivitas pengelolaan air.
Ia juga mengingatkan agar sistem air harus tangguh, mulai water resilience, pemenuhan kebutuhan air minum, hingga efisiensi penggunaan air. Sistem harus cerdas dengan pemanfaatan Smart Water System. Hal ini meliputi daur ulang air limbah dan penggunaan alat plambing hemat air.
Konsep Infrastruktur Berkelanjutan Sponge City
Ia berpendapat, Konsep Sponge City merupakan salah satu solusi yang perlu mereka terapkan. Yakni dengan memaksimalkan penyerapan air hujan, membangun ruang terbuka hijau, dan membangun embung atau kolam retensi.
Dengan konsep ini, mereka berharap dapat mengurangi dampak limpasan air dan menjaga keseimbangan hidrologi.
Selain itu perlu pula menerapkan Smart Water Management, memanfaatkan sensor, sistem informasi, dan otomasi. Dengan teknologi ini, pemerintah bisa mengelola air lebih efektif dan efisien. Adanya Smart Command Center juga akan membantu dalam memantau dan mengontrol sistem air secara real-time.
Kemudian terapkan juga konsep Early Warning System yang memperlihatkan bagaimana membangun sistem peringatan dini untuk bencana banjir. mulai mengumpulkan data dan menyebarluaskan informasi ke masyarakat.
“Sistem ini sangat penting untuk mengurangi risiko dan dampak bencana banjir,” jelasnya.
Termasuk menerapkan sistem pengukuran kualitas air secara real time menggunakan WQMS. Dengan sistem ini, bisa memantau kualitas air dan mengambil tindakan jika ada perubahan yang signifikan.
Ia menjelaskan bahwa data yang dihasilkan akan membantu mereka memelihara kualitas air yang mereka konsumsi.
Redaksi
BACA JUGA