SPI Pendidikan 2024 Versi KPK: 78 Persen Praktek Menyontek Terjadi di Sekolah, 98 Persen di Kampus

spi pendidikan 2024
Peluncuran SPI Pendidikan 2024 oleh KPK.(foto:smartrt.news/KPK)

DI setiap doa orang tua yang mengantar anak ke sekolah, ada harapan sederhana: semoga mereka tumbuh jujur, berilmu, dan bermartabat.
Tapi di balik bangku-bangku belajar itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kenyataan yang mengiris hati.

Lewat Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, terkuak bahwa menyontek, plagiarisme, bahkan gratifikasi masih jadi cerita nyata di sekolah dan kampus.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merilis hasil SPI Pendidikan 2024, yang melibatkan 449.865 responden dari 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota di 38 provinsi Indonesia. Responden terdiri dari siswa/mahasiswa, orang tua, tenaga pendidik, dan kepala satuan pendidikan.

Survei ini menyasar tiga dimensi utama, yaitu karakter peserta didik, ekosistem pendidikan, dan tata kelola pendidikan. Hasil survei menunjukkan bahwa Indeks Integritas Pendidikan 2024 berada di angka 69,50, yang masuk dalam kategori ‘Korektif’, menandakan bahwa perbaikan dalam penerapan nilai integritas di dunia pendidikan Indonesia masih memerlukan perhatian lebih.

Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, memaparkan sejumlah temuan terkait kejujuran akademik, yang menjadi bagian dari potret integritas pendidikan di Indonesia. Hasilnya mencatat bahwa kasus menyontek masih ditemukan pada 78% sekolah responden dan 98% kampus responden.

“Dengan kata lain menyontek masih terjadi pada mayoritas sekolah dan kampus,” ungkap Wawan.

Tidak hanya itu, survei juga menemukan bahwa 43% responden mengungkapkan bahwa plagiarisme terjadi di perguruan tinggi, sementara 6% lainnya menyatakan bahwa plagiarisme rentan terjadi di ruang sekolah.

Temuan ini menunjukkan bahwa upaya membangun budaya integritas masih menghadapi tantangan besar, karena praktik-praktik yang merusak kejujuran akademik tetap marak di dunia pendidikan Indonesia.

“Ini adalah fenomena yang harus kita hadapi dengan keseriusan. Jika pendidikan sudah tidak mengajarkan kejujuran, bagaimana kita bisa berharap generasi mendatang bisa berintegritas dalam kehidupan mereka?” ujarnya.

Praktik plagiarisme pun tak kalah mencemaskan. Hampir setengah dari kampus yang disurvei mengaku plagiarisme adalah masalah besar yang terjadi di kalangan mahasiswa. Bahkan, di sekolah-sekolah, 6% dari responden mengatakan bahwa fenomena ini rentan terjadi. Hal ini memperburuk iklim akademik, tempat seharusnya siswa dan mahasiswa belajar tentang kejujuran dan tanggung jawab.

Murid, Guru dan Dosen Terlambat

Tak hanya itu, kedisiplinan yang lemah juga ikut memperburuk keadaan. Survei menemukan bahwa 45% siswa mengaku datang terlambat ke sekolah, sementara angka tersebut melonjak lebih tinggi di perguruan tinggi, dengan 84% mahasiswa mengaku hal yang sama. Bahkan, keterlambatan guru dan dosen yang seharusnya menjadi teladan pun masih terjadi.

“Hal-hal seperti ini membentuk pola yang tidak baik bagi peserta didik. Ini bukan hanya soal ketepatan waktu, tetapi tentang memberi contoh yang tepat tentang apa itu tanggung jawab,” tambah Wawan.

Namun, meski temuan SPI Pendidikan 2024 menunjukkan banyaknya masalah, ada secercah harapan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen untuk memperbaiki kondisi ini.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menegaskan bahwa hasil survei ini akan menjadi bahan evaluasi yang sangat penting. Dengan penguatan sinergi antar lembaga dan memperkenalkan pendekatan berbasis nilai integritas, diharapkan pendidikan Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.

Stella menjelaskan empat langkah konkret yang akan dilakukan dengan penguatan sinergi antarlembaga. Pertama,  penguatan budaya akademis yang berintegritas. Kedua, peningkatan kapasitas SDM. Ketiga, reformasi tata kelola perguruan tinggi. Dan keempat, kolaborasi dengan KPK untuk pengembangan pendidikan antikorupsi.

“Kami akan berkolaborasi dengan KPK untuk pengembangan pendidikan antikorupsi melalui pendekatan berbasis kesadaran dan partisipasi, pendekatan berbasis nilai, pendekatan berbasis kepatuhan, dan pendekatan manajemen risiko,” pungkas Stella.

Gratifikasi di Ruang Kelas

SPI Pendidikan 2024 juga mencatat bahwa praktik gratifikasi masih terjadi di ruang kelas, di mana orang tua atau siswa sering memberikan hadiah kepada guru, bahkan dengan tujuan tertentu seperti meningkatkan nilai atau memastikan kelulusan.

Fenomena ini memicu ketidakadilan dan merusak citra pendidikan sebagai tempat menumbuhkan karakter yang jujur dan berintegritas. Pasal 5 huruf K dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil melarang aparatur sipil negara (ASN) menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

 “Masih ada 30% guru atau dosen, serta 18% pimpinan satuan pendidikan, yang menganggap gratifikasi dari siswa atau wali murid sebagai hal yang lumrah. Ini berbahaya, karena bisa menjadi celah awal praktik korupsi kecil yang dinormalisasi dari generasi ke generasi,” ujar Wawan Wardiana,

Wawan mengungkapkan hal itu saat Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan 2024 dan Penandatanganan Komitmen Bersama Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi, yang berlangsung secara hybrid di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis (24/4).

Hadiah kepada Tenaga Pengajar

“SPI 2024 menemukan bahwa 65% satuan pendidikan — mulai dari sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi, hingga sekolah Indonesia di luar negeri — melaporkan bahwa orang tua masih sering memberi bingkisan atau hadiah kepada tenaga pengajar, terutama saat hari raya atau kenaikan kelas. Lebih serius lagi, 22% satuan pendidikan mengungkapkan bahwa praktik tersebut dilakukan untuk menaikkan nilai siswa atau meluluskan mereka.

Jika dibiarkan, dunia pendidikan justru membiasakan perilaku menyimpang, padahal seharusnya menjadi fondasi nilai dan integritas. Untuk itu, KPK mengajak seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk tidak menormalisasi pemberian dalam bentuk apapun yang berpotensi memengaruhi objektivitas.

Dalam hal ini, KPK mendorong masyarakat dan tenaga pendidik untuk memahami bahwa apresiasi tak harus berbentuk materi. Ucapan terima kasih tulus, testimoni positif, atau kontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan justru lebih bermakna dan bebas dari risiko pelanggaran etika.

Di sisi lain, Wawan juga meminta agar sekolah dan kampus dapat membangun sistem pengadaan yang transparan, berbasis data, dan bebas konflik kepentingan. Melibatkan komite sekolah, akuntabilitas vendor, hingga membuka akses pengawasan publik. “Kalau dari dunia pendidikan saja kita kompromi soal integritas, bagaimana dengan sektor lainnya?” tegas Wawan.

Kemendikdasmen Memperbaiki Proses Pendidikan

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pendidikan merupakan suatu transformasi, proses pembiasaan dan pembudayaan. Agar nilai-nilai utama dapat terintegrasi ke dalam setiap peserta didik melalui empat catur pusat pendidikan, yaitu sekolah, rumah, masyarakat, dan media. 

“Untuk itu, Kemendikdasmen berusaha memperbaiki proses pendidikan kita supaya tidak sekadar menjadi transfer of knowledge yang hanya menekankan pada aspek knowing. Melainkan juga deep learning, supaya peserta didik menemukan meaning (makna dari apa yang dipelajari) dan berlanjut kepada behaving (mengamalkan apa yang mereka pelajari),” jelasnya. 

KPK, melalui survei ini, bertekad untuk terus mengingatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan agar tidak menormalisasi pemberian hadiah yang berpotensi mempengaruhi keputusan objektif di ruang pendidikan.

Seluruh elemen, mulai dari siswa, orang tua, tenaga pendidik, hingga pemerintah, perlu bekerja sama untuk mengembalikan kejujuran dan integritas dalam pendidikan.

Dengan komitmen bersama dan langkah konkret yang terus dilakukan, kita tetap menjaga harapan untuk membangun generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, karena di dunia pendidikan, kejujuran adalah investasi terbesar.***

(Tim Smartrt.news/anang/sumber: KPK)