Slamet dan Suara yang Menggema di Hari Pendidikan, Siswa SLB Bacakan UUD 1945 di Hadapan Wali Kota

hardiknas
Slamet Hariadi pelajar tingkat SMA dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Balikpapan dengan lantang membacakan UUD 1945. (Foto:smartrt.news/rama)

Smartrt.news, BALIKPAPAN,- Pagi itu udara di Kota Balikpapan tampak cerah. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Di halaman luas Balai kota tempat upacara digelar, ratusan pasang mata mulai mengarah ke podium utama yang didepannya ada Wali Kota. Hari itu adalah Hari Pendidikan Nasional sebuah momen refleksi tahunan yang sering kali lewat begitu saja. Tapi tidak kali ini.

Di antara lautan peserta, seorang remaja dengan seragam putih abu-abu berdiri di barisan depan. Namanya Slamet Hariadi. Ia pelajar tingkat SMA dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Balikpapan. Tidak ada sorotan kamera khusus padanya sebelumnya. Tidak ada yang menyangka bahwa pagi itu, suara Slamet akan membuat semua orang diam dan merenung.

Dua minggu sebelumnya, Slamet dipanggil oleh gurunya Reni. “Slamet, kamu mau coba membacakan teks Pembukaan UUD 1945 untuk upacara Hardiknas?” tanyanya dengan suara lembut. Slamet sempat terdiam. Ia bukan tipe siswa yang biasa tampil di depan umum, apalagi untuk tugas besar seperti ini.

Namun entah dorongan dari mana, ia mengangguk. “Mau, Bu,” jawabnya pelan.

Sejak hari itu, Slamet dan Bu Guru Reni memulai latihan rutin. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, dan setiap sore sepulang sekolah, mereka berdiri berdua di ruang kelas kosong. Teks Pembukaan UUD 1945 tak hanya dihafal tapi dihayati. Slamet belajar melafalkan dengan jelas, mengatur intonasi, dan yang paling penting: menumbuhkan keberanian.

“Suaraku kecil, Bu,” katanya suatu hari.  Reni tersenyum. “Yang penting bukan seberapa keras kamu bicara, Nak. Tapi seberapa besar keberanianmu untuk berdiri dan mencoba.”

Sempat Ragu Menuju Podium

Hari itu pun tiba. Ketika namanya disebut, Slamet melangkah ke podium. Langkahnya sedikit ragu. Tapi wajahnya menunjukkan tekad yang tidak bisa diragukan. Di tangannya tergenggam naskah Pembukaan UUD 1945—teks sakral yang biasa dibaca oleh pejabat tinggi negara, kini dibacakan oleh seorang remaja dari SLB.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…”

Suara Slamet mengalun, tidak terlalu keras, tapi penuh penghayatan. Tidak ada yang bersorak. Tidak ada yang berbisik. Semua mata menatapnya. Semua hati mendengarkan.

Selesai membaca, ia kembali ke tempatnya. Dadanya masih berdebar. Tapi sebuah senyum kecil terbit dari bibirnya. Ia tahu, ia baru saja menaklukkan sesuatu yang selama ini terasa mustahil rasa takut dalam dirinya sendiri.

“Awalnya nervous banget,” aku Slamet setelah acara selesai. “Tapi pas sudah berdiri, saya ingat semua latihan, dan langsung fokus.”

Bagi Slamet, momen itu bukan hanya tentang berdiri di podium. Bukan hanya soal membaca teks negara. Itu adalah pengakuan. Sebuah pembuktian bahwa dirinya juga punya tempat, punya suara, dan pantas untuk didengar.

Slamet Inin Jadi Orang yang Berguna

Upacara Hari Pendidikan Nasional tahun ini mengangkat tema “Menghargai Jasa Pahlawan Pendidikan.” Tapi melalui Slamet, publik belajar bahwa pahlawan itu bukan selalu guru atau tokoh besar. Kadang, pahlawan bisa hadir dalam wujud anak muda yang berani berdiri, mewakili ratusan ribu anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang masih berjuang mendapatkan hak mereka atas pendidikan yang layak.

“Saya ingin jadi orang yang berguna,” ujar Slamet ketika ditanya tentang cita-citanya. Ia tidak menyebut profesi tertentu. Tidak bilang ingin jadi guru, dokter, atau pejabat. Ia hanya ingin bermanfaat.

Reni, yang mendampingi Slamet sejak awal, tak kuasa menahan haru. “Saya sudah mengajar belasan tahun. Tapi momen seperti ini yang membuat saya yakin bahwa pendidikan benar-benar bisa mengubah hidup. Bahkan hanya dengan satu kesempatan, satu podium, satu suara.” akunya.

Hari itu, Slamet memang hanya membaca. Tapi sesungguhnya, ia juga sedang mengajari. Mengajari kita semua tentang makna ketulusan, keberanian, dan inklusi dalam pendidikan.

Karena pendidikan bukan sekadar soal angka dan nilai. Tapi tentang membuka pintu. Menyediakan panggung. Memberi kesempatan. Dan membiarkan setiap anaktermasuk Slamet menyuarakan mimpinya, dengan caranya sendiri.***

(Tim Smartrt.news/rama)