Siapa di Balik Masuknya Produk Bajakan? Kemenperin Lempar Sinyal Keras!

Smartrt.news, JAKARTA,– Barang bajakan kembali jadi sorotan dunia. Kali ini, Amerika Serikat menyorot peredarannya di pasar-pasar Indonesia, termasuk di Mangga Dua, Jakarta, lewat laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Isunya bukan cuma soal pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI), tapi juga lemahnya regulasi impor di Indonesia.
Menanggapi laporan tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak tinggal diam. Lewat juru bicaranya, Febri Hendri Antoni Arief, Kemenperin menyampaikan sinyal keras: selama tidak ada regulasi yang mewajibkan sertifikat merek dari prinsipal, barang bajakan akan terus membanjiri pasar domestik.
“Barang bajakan masuk melalui jalur impor biasa atau e-commerce, bahkan memanfaatkan gudang-gudang PLB (Pusat Logistik Berikat). Kalau importir tak diminta menunjukkan sertifikat merek, bagaimana mungkin kita bisa menyaring yang asli dan bajakan?” ujar Febri.
Sertifikat Merek: Kunci yang Dicabut Diam-diam
Sebenarnya, Kemenperin sempat mengambil langkah serius lewat Permenperin No. 5 Tahun 2024, yang mensyaratkan importir menyertakan sertifikat merek resmi saat mengajukan rekomendasi impor barang tekstil, tas, dan alas kaki.
Regulasi ini sempat jadi tembok penyaring barang bajakan. Tapi umur aturan itu ternyata pendek. Dasar hukumnya, Permendag No. 36 Tahun 2024, mendadak diubah oleh kementerian/lembaga lain menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 hanya beberapa bulan kemudian.
“Setelah itu, importir tak lagi wajib menyampaikan sertifikat merek. Padahal itu alat utama kami untuk menyaring barang bajakan sebelum masuk,” jelas Febri.
Ada yang Minta Diskresi, Tapi Siapa?
Febri menyebut, ada lembaga lain yang justru minta diskresi atas aturan tersebut. Bahkan ada yang mendorong relaksasi kebijakan, dengan alasan mempermudah arus barang. Celakanya, di situlah celah bagi importir nakal untuk membawa masuk produk bajakan—tanpa verifikasi merek, tanpa pertanggungjawaban.
“Kebijakan yang semestinya jadi benteng justru dibelokkan. Lalu sekarang semua bingung, kenapa bajakan masih marak? Ya karena aturannya dilonggarkan sendiri,” sindirnya.
Menindak di Pasar? Terlambat!
Menurut Kemenperin, mengandalkan penindakan di pasar domestik bukanlah solusi ideal. Prosesnya lambat, apalagi jika penindakannya harus berdasarkan delik aduan dari pemegang merek, yang sebagian besar bermarkas di luar negeri.
“Bagaimana bisa menindak barang bajakan yang sudah terlanjur beredar dalam volume besar? Lebih masuk akal mencegahnya dari awal lewat regulasi impor,” tegas Febri.
Kemenperin juga mengungkap bahwa belum pernah ada tindakan nyata terkait pengawasan barang bajakan yang masuk lewat e-commerce atau gudang PLB.
Punya Bukti Praktik Baik: Belajar dari IMEI
Di tengah situasi yang ruwet ini, Kemenperin menunjukkan bahwa regulasi yang ketat bisa berhasil. Salah satunya lewat penerapan kebijakan pendaftaran IMEI untuk handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT). Importir wajib menunjukkan sertifikat merek saat mengajukan pendaftaran. Hasilnya, peredaran smartphone ilegal turun drastis.
“Kami sudah buktikan lewat kebijakan IMEI di sektor HKT. Kalau sertifikat merek jadi syarat mutlak, produk bajakan sulit masuk,” ujar Febri.
Soal TKDN ICT: Belum Ada Aturan, Tapi Sudah Mau Dideregulasi?
Kemenperin juga menanggapi isu relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk sektor ICT yang kabarnya masuk ke meja negosiasi dengan Amerika Serikat. Febri menegaskan, belum ada aturan TKDN khusus untuk sektor ICT, sehingga wacana deregulasi terasa janggal.
“Kalau regulasinya saja belum ada, apa yang mau dideregulasi? Mungkin maksudnya ingin membuat aturan baru, tapi jangan sampai mengorbankan kepentingan industri dalam negeri,” katanya.
Evaluasi TKDN: Kemenperin Sudah Jalan Sebelum Trump Bicara
Terkait evaluasi kebijakan TKDN secara umum, Febri memastikan bahwa Kemenperin sudah bergerak sejak awal 2025, sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal.
“Kami sudah mulai evaluasi TKDN sejak Januari 2025 sesuai arahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Bukan karena tekanan dari luar,” tegasnya.
Kemenperin melempar sinyal keras. Selama tidak ada regulasi ketat yang mengunci masuknya barang impor bajakan, upaya menertibkan pasar hanya akan jadi kerja sia-sia. Mereka mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap tegas—bukan malah minta relaksasi yang membuka celah untuk permainan nakal.
“Kalau tidak ada sertifikat merek, itu pintu masuk bajakan. Kalau pintunya dibuka, jangan heran kalau barang bajakan merajalela,” tutup Kemenperin.
Mangga Dua: Pusat Perdagangan yang Disorot
Mangga Dua, yang terletak di Jakarta Utara, telah lama dikenal sebagai pusat perdagangan grosir yang ramai. Kawasan ini berkembang pesat sejak akhir 1980-an, dimulai dengan pembangunan Pasar Pagi Mangga Dua yang diresmikan pada 18 September 1989 oleh Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Pasar ini dirancang sebagai pusat perdagangan grosir dan dilengkapi berbagai fasilitas pendukung seperti pujasera, bioskop, dan area parkir yang luas
Kesuksesan Pasar Pagi Mangga Dua memicu pertumbuhan kawasan perdagangan lain seperti Mangga Dua Mall, Harco Mangga Dua, Mangga Dua Square, dan ITC Mangga Dua, menjadikan Mangga Dua sebagai pusat grosir terbesar di Jakarta. Kawasan ini menjadi destinasi utama bagi pedagang grosir dari berbagai daerah di Indonesia, serta pedagang dari luar negeri. Lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang tinggi menjadikan Mangga Dua sebagai pusat perbelanjaan yang ramai dikunjungi .***
(Tim Smartrt.news/anang/sumber:Kemperin dan berbagai sumber)
BACA JUGA