Semua Pihak Perlu Lebih Peduli pada Gangguan Kesehatan Mental

Kesehatan mental
Ilustrasi, depresi, menjadi salah satu gangguan kesehatan mental. (pexels)

Smartrt.news, BALIKPAPAN – Masalah kesehatan mental remaja mencuat sejak pandemi. Menurut WHO, pandemi secara signifikan memperburuk masalah kesehatan mental, khususnya di kalangan remaja, gen Z dan mahasiswa.

Menurut survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) sebanyak 44 persen responden mengaku putus asa hampir setiap hari selama dua pekan berturut-turut.

Bahkan kurang dari 20 persen responden yang secara serius mempertimbangkan untuk mencoba bunuh diri selama 12 bulan sebelum survei.

Remaja Indonesia juga menghadapi masalah kesehatan mental tapi belum ada data spesifik mengenai mereka. Menurut Riset Kesehatan Dasar (2018), sebanyak 16 juta atau 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.

Konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja akan meluas hingga masa dewasa, berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental.

Sekaligus membatasi peluang menjalani kehidupan yang baik di masa dewasa.

Kesehatan mental menjadi salah satu aspek sangat penting dalam kehidupan setiap individu, termasuk para mahasiswa baru yang akan menapaki tahapan pendidikan yang baru.

Kesehatan mental yang baik sangat penting bagi mahasiswa karena dapat memengaruhi kinerja akademik, kualitas hidup, dan hubungan sosial mereka.

Paham Urgensi Menjaga Kesehatan Mental

Usia mahasiswa, yakni 18-22 tahun, seringkali sebagai masa pencarian jati diri. Di masa itu, banyak tekanan dan pengaruh eksternal yang dapat memengaruhi kondisi mental atau psikologis mereka.

Memahami urgensi menjaga masalah ini menjadi kunci keberhasilan mahasiswa dalam menjalani studi perkuliahan.

Melanir laman Kemkes, Prof. Dante Saksono menyampaikan seorang mahasiswa baru megalami dinamika Kurva W yang menggambarkan naik turunnya siklus kejiwaan. Serta terkait faktor kepuasan dan waktu.

Secara umum, mahasiswa baru akan mengalami Kurva W. Sejak dari permulaan kuliah, culture shock dengan banyak tugas, homesick, serta penyesuaian awal mengelola waktu dan pertemanan.

Merujuk teori Darwin, Prof. Dante Saksono menambahkan, kemampuan beradaptasi yang cepat sangat penting bagi mahasiswa. Sebab bukan yang terkuat atau terpintar yang akan bertahan, melainkan yang paling cepat menyesuaikan diri.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Prof. Abdul Haris, tantangan umum mahasiswa di Indonesia ihwal tingginya angka pengangguran lulusan.

Sebanyak 11,8% lulusan, atau sekitar 945.413 orang terdiri dari 191.681 diploma dan 753.732 sarjana, merupakan pengangguran terdidik.

Ia menilai, tantangan kedepan sangat luas, sangat kompetitif, perlu daya saing yang sangat tinggi karena perkembangan era teknologi saat ini adalah masa automatisasi/artificial intelligent.

Hal ini akan mengubah semua apa yang menjadi kebiasaan manusia.

Dengan automatisasi, hal yang sebelumnya tidak terpikirkan dapat menjadi hal yang sangat lumrah dan di masyarakat. Karena itu, mahasiswa baru harus selalu adaptif untuk dapat bertahan.

Dinamika pendidikan tinggi yang sangat cepat dan tuntutan adaptasi yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab masalah kesehatan mental pada mahasiswa.

Ubah Mindset

Selama ini, kesehatan mental sering terkait sebagai isu sensitif yang jarang menjadi pembahasan secara terbuka. Akibatnya, masyarakat sering meresponnya dengan pandangan negatif.

Padahal, isu ini sangat penting dan serius karena berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menganggap bunuh diri sebagai isu yang sangat serius.

Berdasarkan data WHO, lebih dari 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Di Indonesia, data dari POLRI menunjukkan angka kematian akibat bunuh diri pada 2023 meningkat menjadi 1.350 kasus, dari 826 kasus pada tahun sebelumnya.

Alasan seseorang melakukan bunuh diri sangat kompleks karena pengaruh berbagai faktor, seperti faktor biologis, genetik, psikologis, budaya, dan lingkungan.

Untuk itu, upaya terkait kesehatan mental, khususnya untuk mencegah kejadian bunuh diri, harus menjadi perhatian semua pihak.

Rentan Menyerang Remaja

Gangguan kesehatan mental atau depresi menjadi masalah kejiwaan yang rentan terjadi pada remaja. Data di Indonesia menunjukkan sebanyak 6,1 % penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.

Dr. Khamelia Malik dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menyampaikan ada paradoks pada kesehatan remaja.

Di sisi lain secara fisik masa remaja merupakan periode paling sehat sepanjang hidup dari segi kekuatan, kecepatan, kemampuan penalaran.

Bahkan, lebih tahan terhadap kondisi dingin, panas, kelaparan, dehidrasi dan berbagai jenis cedera. Tetapi, justru angka kesakitan dan kematian meningkat hingga 200% di masa remaja.

Salah satunya lantaran ketidakmampuan dalam mengendalikan perilaku dan emosi yang mengakibatkan kesakitan dan kematian, lanjutnya.

Menurutnya yang membuat remaja sulit dipahami adalah ada area otak yang mengalami maturasi lebih cepat dari area lainnya.

Otak remaja berkembang dalam keadaan konstan yang berarti remaja lebih cenderung melakukan perilaku berisiko dan implusif, kurang mempertimbangkan konsekuensi dibanding orang dewasa.

Inilah sebabnya penting bagi orang tua untuk membimbing dan menjadi panutan para remaja dalam membangun kecerdasan emosi dan mengambil pilihan yang lebih sehat.

Orang tua atau guru perlu membantu remaja mengevaluasi risiko dan mengantisipasi konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil remaja. Selain itu juga mengembangkan strategi untuk mengalihkan perhatian dan energi ke aktivitas yang lebih sehat agar kesehatan mental juga terjaga.

(Tim Smartrt.news/Redaksi/sumber: WHO, Kemkes)