Sambut Imlek, Bagaimana Sejarahnya di Indonesia?

IMLEK- Ritual memandikan patung-patung Dewa-Dewi klenteng Guang de Miao Balikpapan, Kamis (23/1/2025). (smartrt.news/ Abu Salman)

SMARTRT.NEWS – Kemeriahan Imlek di Balikpapan, disambut gembira warga Tionghoa di kota ini. Mereka berduyun-duyun melakukan ritual Sembahyang dan doa di Klenteng Satya Dharma atau Guang De Miao Balikpapan. Dengan khidmat mereka mengisi Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili atau Tahun Baru China 2025. 

Perayaan Imlek telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sebagai tradisi yang memiliki akar budaya dan sejarah panjang, Imlek dirayakan dengan pelbagai aktivitas yang sarat makna.

Lalu, bagaimana sejarah perayaan Imlek di Indonesia?

Tahun Baru Cina, yang dikenal dengan sebutan Imlek memiliki sejarah panjang dari era Tiongkok kuno. Mengacu kalender lunar, Imlek dirayakan sebagai tanda berakhirnya musim dingin dan datangnya musim semi, simbol dari kehidupan baru dan pembaharuan.

Sejarawan Dr. Li Wei dari Universitas Indonesia menyatakan kalau perayaan ini sudah ada sejak era Dinasti Shang, sekitar 3.000 tahun lalu, dan diadopsi di pelbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Sejarawan Dr. Baskara T. Wardaya menjelaskan masuknya perayaan Imlek ke Indonesia tak lepas dari migrasi orang Tionghoa ke Nusantara.

Hal itu terjadi sekitar abad ke-15. Saat itu, banyak orang Tionghoa berdatangan ke wilayah Nusantara yang kini dikenal sebagai Indonesia.

Mereka berduyun-duyuh, kemudian membawa tradisi dan budayanya. Tak terkecuali Imlek yang menjadi salah satu perayaan yang terus dipertahankan dan perlahan-lahan terintegrasi dengan budaya lokal.

Perayaan Imlek sempat terhambat di era kolonial Belanda dan masa Orde Baru. Di masa itu membawa pengaruh signifikan terhadap perayaan Imlek.

Pada masa kolonial, perayaan ini tetap dilakukan tapi dengan pengawasan ketat dari pemerintah Belanda.

Seiring waktu, Imlek mengalami masa sulitnya di era Orde Baru. Kala itu kebijakan asimilasi yang diterapkan pemerintah melarang perayaan Imlek di ruang terbuka. Akibatnya, komunitas Tionghoa terpaksa hanya bisa merayakannya dengan tertutup.

Nah, situasi berubah drastis paska reformasi 1998.

Di tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, secara tegas mencabut Inpres No.14/1967 yang melarang ekspresi budaya Tionghoa, termasuk perayaan Imlek.

Lalu di tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri resmi menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional, dan menjadikannya bagian dari kalender resmi perayaan di Indonesia.

Pengakuan Pemerintah

Pemerintah Indonesia pun akhirnya mengakui perayaan Imlek sebagai bagian dari kebhinekaan bangsa. Menteri Agama, dalam pernyataannya, menegaskan Imlek sebagai perayaan penting yang mencerminkan keragaman budaya dan keyakinan di Indonesia.

Pemerintah berkomitmen mendukung dan melindungi kebebasan merayakan Imlek sebagai salah satu wujud nyata dari prinsip persatuan dalam keberagaman.

Bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, Imlek tidak hanya sekadar perayaan agama atau budaya, tetapi juga momen penting untuk mempererat tali silaturahmi.

Sejarah panjang Imlek di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya perayaan ini bagi komunitas Tionghoa dan masyarakat luas.

Dari masa penjajahan hingga era modern saat ini, Imlek terus berkembang dan beradaptasi, membawa pesan perdamaian, kebahagiaan, dan harapan bagi semua.

Dengan dukungan pemerintah dan semangat masyarakat, Imlek bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga simbol persatuan dan keragaman budaya bangsa Indonesia.

Di tahun ini pun, masyarakat Tionghoa Balikpapan dengan gembira merayakan Imlek 2576 Kongzili.  Mereka sembahyang di malam pergantian tahun baru Imlek.

Ratusan warga Tionghoa terlihat memadati Klenteng Guang De Miao di kawasan Pasar Baru, Kelurahan Klandasan Ilir, sejak sore hari pada Rabu (28/1/2025).

Tahun Baru Imlek selalu menjadi momen istimewa untuk merefleksikan tahun yang telah berlalu serta mengungkapkan harapan baik bagi masa depan.

Suasana ini juga dirasakan Yeni, perantau asal Balikpapan yang kini menetap di Surabaya sejak tahun 2000. Ia ikut beringsut ke Klenteng Guang De Miao, yang menjadi pusat spiritual utama bagi komunitas Tionghoa di Balikpapan, terutama saat momen penting seperti Tahun Baru China.

Bagi Yeni, meski tahun ini bukan tahun shio Ular, harapannya sama seperti tahun-tahun sebelumnya. “Harapan saya tahun ini, sama seperti biasanya: kita semua hidup rukun, bahagia, dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik. Semuanya lancar tanpa ada hambatan apa pun,” ucap Yeni.

Ia juga berbagi cerita tentang rutinitasnya sebagai perantau yang membuat momen pulang kampung menjadi sangat berharga.

Meski telah tinggal di Surabaya selama lebih dari dua dekade, ia tetap memiliki ikatan kuat dengan kampung halamannya di Balikpapan, tempat keluarga besarnya tinggal.

“Walaupun sudah lama di Surabaya dan bisa dibilang sudah jadi penduduk sini, saya tetap merasa Balikpapan itu rumah. Paling tidak, saya usahakan pulang setahun sekali atau dua kali untuk bertemu keluarga,” tambahnya.

Malam Imlek di Klenteng Guang De Miao diisi pelbagai ritual khas, seperti menyalakan lilin dan dupa, membakar kertas sembahyang, serta memanjatkan doa kepada para leluhur dan dewa-dewa.

Atikel ini diolah menggunakan AI dengan data tambahan wawancara.

Musafir B