Revisi UU ITE, Kerusuhan di Sosmed Bukan Tindak Pidana

SMARTRT.NEWS – Mahkamah Konstitusi resmi menegaskan istilah kerusuhan di Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE hanya berlaku untuk kerusuhan fisik di masyarakat. Bukan di ruang digital.
Hal ini termaktub MK dalam Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024.
“Artinya, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber.”
Demikan Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan putusannya, pada akhir April 2025.
Putusan itu menguatkan tafsir bahwa kerusuhan digital atau kegaduhan di media sosial, tidak bisa lagi menjadi dasar penjeratan pidana berdasarkan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.
MK menyatakan penerapan pasal ini telah menciptakan ketidakpastian hukum karena multitafsir.
Norma itu mengancam prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Karena itu, MK memutuskan frasa “kerusuhan” punya makna terbatas.
“Menyatakan kata ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 […] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.” Bunyi amar putusan Hakim MK.
Putusan MK Lindungi Kebebasan Berekspresi
Pasal 28 ayat (3) dalam UU ITE sebelumnya berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.”
Adapun Pasal 45A ayat (3) menyebutkan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
MK menilai kedua pasal ini berpotensi mengekang kebebasan berekspresi. Sebab tidak membedakan dampak kerusuhan secara nyata dan kegaduhan digital yang tidak menyebabkan kerusakan fisik atau ancaman serius terhadap ketertiban umum.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengutip jaminan konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI 1945. Hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tidak boleh terbatasi oleh pasal-pasal yang kabur atau terbuka untuk tafsir sewenang-wenang.
Dengan demikian, kegaduhan di dunia maya, termasuk keributan di media sosial, tidak dapat tergolong sebagai tindak pidana jika tidak menimbulkan gangguan nyata secara fisik di masyarakat.
Pencemaran Nama Baik Tak Berlaku untuk Pemerintah dan Korporasi
MK juga memutuskan pasal menyerang kehormatan dalam UU ITE tidak berlaku untuk pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi.
Dalam sidang perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 itu adalah individu atau perseorangan.
MK menegaskan, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Di Pasal 27A Undang-Undang ITE harus inkonstitusional secara bersyarat.
“Sepanjang tidak bermakna kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik. Lalu institusi, korporasi, profesi, atau jabatan,” tegas Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Selasa.
Permohonan uji materi Pasal 27A UU ITE dari Daniel Frits Maurits Tangkilisan, warga Karimunjawa. Ia menggugat sejumlah frasa di beberapa pasal dalam UU ITE karena multitafsir dan berpotensi disalahgunakan.
Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) mengatur larangan pencemaran nama baik melalui sistem elektronik. Adapun Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) mengatur penyebaran kebencian.
MK dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang ITE tersebut.
Mahkamah Konstitusi memutuskan sejumlah norma itu inkonstitusional secara bersyarat agar tidak melanggar prinsip kepastian hukum, dan perlindungan kebebasan berekspresi.
Mahkamah juga menetapkan kasus dugaan tindak pidana yang muncul akibat adanya pasal tersebut masuk delik aduan.
Menurut MK, aparat baru bisa memproses kasus dari individu yang merasa rugi jika menerima pengaduan langsung. Adapun badan hukum, menurut MK, tidak punya kedudukan hukum untuk mengajukan aduan dalam kasus pencemaran nama baik di ruang digital.
Sumber: Mahkamah Konstitusi
BACA JUGA