Polri Tangguhkan Penahanan Mahasiswi SSS Pengunggah Konten Meme Presiden ke-7 Jokowi-Presiden Prabowo di Media Sosial X

Oleh kontributor achmad pada 12 Mei 2025, 23:00 WIB
penangguhan penahanan SSS

Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, selaku Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, dalam konferensi pers. (Foto:smartrt.news/Media Hub Polri)

Smartrt.news, JAKARTA,– Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi menangguhkan penahanan terhadap seorang mahasiswi berinisial SSS, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus penyebaran konten bermuatan pelanggaran kesusilaan dan dugaan manipulasi data otentik di platform media sosial X (dulu Twitter).

Informasi ini disampaikan oleh Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, selaku Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, dalam konferensi pers pada Minggu malam (11 Mei 2025).

“Penangguhan ini diberikan setelah adanya permohonan resmi dari penasihat hukum dan orang tua tersangka. Selain itu karena adanya itikad baik dari SSS dan keluarganya untuk meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi,” jelas Brigjen Trunoyudo.

Latar Belakang Kasus

SSS ditangkap pada 6 Mei 2025 oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berdasarkan laporan polisi LP/B/159/III/2025/SPKT Bareskrim Polri, tertanggal 24 Maret 2025. Ia mulai ditahan sehari setelahnya, 7 Mei 2025.

Dalam proses penyidikan, penyidik telah memeriksa tiga saksi dan lima ahli, serta menyita beberapa barang bukti yang kemudian dianalisis oleh tim forensik digital. Berdasarkan hasil penyelidikan, penyidik menilai bukti-bukti yang ada sudah cukup kuat untuk menetapkan SSS sebagai tersangka.

Pertimbangan Kemanusiaan dan Akademik

Kendati proses hukum tetap berjalan, penyidik memutuskan memberikan penangguhan penahanan dengan mempertimbangkan faktor kemanusiaan serta masa depan pendidikan SSS.

“Kami mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan memberi kesempatan kepada tersangka untuk melanjutkan studinya,” ungkap Trunoyudo.

Permintaan Maaf Kepada Presiden dan ITB

Dalam proses permohonan penangguhan, pihak SSS melalui kuasa hukum dan keluarganya juga telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Permintaan ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, mantan Presiden Joko Widodo. Selain itu juga kepada pihak Institut Teknologi Bandung (ITB) yang turut terseret dalam polemik publik terkait unggahan konten tersebut di media sosial.

Polisi Dinilai Berlebihan, Mahasiswi Harusnya Dibebaskan

Sementara itu,  merespons penangkapan itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah aparat sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi di ruang digital. Penangkapan mahasiswi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan.

Ekspresi damai seberapapun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Di samping itu, penangkapan ini juga bertentangan dengan semangat putusan terbaru MK yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana. Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik.

Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan.

Selanjutnya, lembaga negara sendiri termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia. Kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat. Hal ini juga merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.

Menurut Amnesty, Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik.

Selain itu, kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka. Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil.***

(Tim Smartrt.news/anang/sumber: Media Hub Polri)

  •