Paman Sam Keluar dari Paris Agreement, Bagaimana Nasib Rp 300 T untuk Indonesia?

SMARTRT.NEWS – Sejak November 2022, negara-negara maju seperti Paman Sam memiliki komitmen terkait transisi energi di Indonesia melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP). Komitmen Amerika itu termasuk dana yang dijanjikan dalam JETP sekitar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun.
Program JETP adalah kesepakatan Indonesia dengan pelbagai negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia. Pendanaan itu bukan berbentuk hibah, melainkan pinjaman alias utang.
Kesepakatan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara yang tergabung dalam International Partners Group, dipimpin Amerika dan Jepang. Yang beranggotakan Jerman, Kanada, Norway, Denmark, Inggris, Italia, Prancis, dan Uni Eropa.
Kemitraan itu sejalan reformasi kebijakan dalam negeri, yang akan memobilisasi investasi dalam produksi energi terbarukan dalam negeri Indonesia.
Tujuannya mengurangi emisi, memperkuat dan memperluas jaringan, memajukan ketahanan energi, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan ekonomi energi bersih di Indonesia.
AS dan Indonesia juga berkomitmen mengembangkan rantai pasok mineral penting, dalam perjanjian Presiden Prabowo dengan Joe Biden.
Namun, setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden, Amerika sudah tidak sejalan dengan komitmen transisi energi. Paman Sam keluar dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement.
Kelanjutan pendanaan dari Amerika melalui JETP, sampai kini belum ada kejelasan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebutkan pihaknya akan mengecek terlebih dahulu komitmen JETP yang sebelumnya telah dijanjikan untuk Indonesia sebesar Rp 300 triliun. “Kita cek dulu,” ujarnya, dilansir CNBC, Jumat (24/1/2025).
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi memaparkan dampak keluarnya Amerika dari Paris Agreement akan berimbas pada pendanaan untuk penanganan perubahan iklim menjadi lebih sulit.
Ia menganalisa keputusan Donald Trump itu juga berdampak terhadap negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan biaya dalam mengeksekusi proses transisi energi.
“Apabila tidak ada appetite di climate change, kemungkinan akan luntur juga, dan yang terdampak terbesar itu negara berkembang,” ujar Dandy, dilaporkan Antara.
Menurut laporan Bloomberg, keluarnya Paman Sam dari Perjanjian Iklim Paris, memantik sejumlah reaksi keras. Antara lain, Wakil Kanselir Jerman Robert Habeck.
Ia menilai cara terbaik merespons sikap Presiden Trump dengan berpegang teguh rencana pengembangan energi hijau yang telah disepakati.
Jerman, menurut Habeck, berencana menjadikan 80% listriknya berasal dari pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan pada 2030.
“Kita harus menonjolkan teknologi kita sendiri,” kata Habeck.
Keputusan Trump meninggalkan kesepakatan Paris untuk kedua kalinya memang disesalkan.
Pejabat teras Bank Sentral Eropa Francois Villeroy de Galhau menyesalkan pengumuman Presiden Trump untuk meninggalkan Perjanjian Paris. “Tetapi pengumuman ini tidak mengejutkan,” ujar Villeroy.
Reaksi keras juga datang dari Amnesti Internasional AS.
Keputusan Trump menarik Amerika dari Perjanjian Paris akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat di seluruh dunia.
“Kita tidak perlu melihat lebih jauh dari kebakaran di California atau banjir di North Carolina untuk memahami bahwa krisis iklim telah terjadi dan secara langsung merugikan kita semua,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International AS Paul O’Brien. Seharusnya Amerika bertanggung jawab karena menjadi penghasil karbon terbesar di dunia.
Redaksi
BACA JUGA