Category Ad 1

Musim Kemarau 2025 Datang Lebih Lambat, Apa Penyebabnya? Ini Penjelasan Kepala BMKG

Oleh widodo pada 21 Jun 2025, 18:28 WIB
cuaca ekstrem

Peta cuaca ekstrem di Sumatera dan Kalimantan. (Foto: Smartrt.news/BMKG)

Smartrt.news, JAKARTA – Musim kemarau tahun ini tidak datang tepat waktu. Hingga awal Juni 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa baru sekitar 19 persen zona musim di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau. Sisanya masih berada dalam musim hujan, padahal secara klimatologis, kemarau seharusnya sudah mulai meluas.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut bahwa keterlambatan ini disebabkan oleh curah hujan yang masih tinggi selama April hingga Mei, periode yang seharusnya menjadi masa peralihan musim.

“Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan yang di atas normal di wilayah-wilayah tersebut, dan ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” ungkap Dwikorita, melansir laman resmi BMKG.

Wilayah Mana yang Terdampak?

Wilayah terdampak anomali hujan mencakup Sumatera bagian selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kelembapan tinggi membuat kawasan ini belum bisa bertransisi penuh ke musim kemarau seperti biasanya.

Meski begitu, analisis BMKG terhadap curah hujan pada Dasarian I (sepuluh hari pertama) Juni menunjukkan bahwa tanda-tanda musim kemarau mulai muncul. Sebanyak 72 persen wilayah menunjukkan sifat hujan normal, 23 persen di bawah normal (lebih kering), dan hanya 5 persen wilayah yang masih mengalami hujan di atas normal.

Dwikorita mengatakan wilayah Sumatera dan Kalimantan sudah mulai menunjukkan pola kering dalam beberapa dasarian terakhir. Sebaliknya, wilayah selatan Indonesia masih dilanda hujan tinggi, termasuk sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bagian selatan.

BMKG memprediksi curah hujan kategori atas normal masih akan berlangsung di sejumlah daerah hingga Oktober 2025. Musim kemarau tahun ini pun dipastikan berlangsung lebih singkat dari biasanya.

“Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai,” ujar Dwikorita.

Curah hujan tinggi selama musim kemarau bisa berdampak ganda. Bagi petani padi, ini menguntungkan karena pasokan air tetap tersedia. Namun, tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, dan bawang lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit.

Tak Bisa Berpegang Pola Musim Lama

Dwikorita mengingatkan, semua pihak tidak bisa lagi berpegang pada pola musim lama. Perubahan iklim global telah memunculkan berbagai anomali yang harus diantisipasi.

“Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” katanya.

Ia menekankan pentingnya menjadikan informasi prediktif dari BMKG sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi lintas sektor—mulai dari pertanian, pengelolaan air, hingga mitigasi bencana.

“BMKG akan terus berkomitmen mendampingi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam membaca perubahan cuaca dan iklim dengan lebih presisi, agar setiap langkah ke depan bisa lebih bijak dan berbasis data,” pungkas Dwikorita.**

(Tim smartrt.news/anang/sumber: BMKG)