Mengukur Kedalaman

SMARTRT.NEWS – Mereka bertiga sedang menikmati senja di tepi pantai, tempatnya di kota kecil yang dikelilingi hutan, bukit, dan lautan.
Sebelum menuju ke tepian, Tama Bukhori alias Tambuk menghubungi teman-temannya. Pertama, ia menelpon Waluhi.
“Wal, sore ini nongkrong yuk di tepian,” ucap Tambuk yang sedikit ragu dengannya. Sebab teman yang satu ini suka berbohong kepadanya. Bilang mau hadir, tapi tidak hadir.
Karena itu, nama asli Alex Noerdin ini dijuluki Waluhi-bahasa Banjar diartikan perilaku yang dibuat-buat atau pura-pura. Nah, teman satunya lagi juga sudah berjanji akan datang sore hari nanti.
Kali ini, Waluhi tiba pertama dari dua temannya.
“Kalau tahu begini, aku datang telat aja,” ucapnya dalam batin.
Tak lama, Tambuk muncul dengan sepeda legendarisnya. Motor kesayangannya di parkir bahu jalan.
“Mana si Bram, belum datang kan,” seloroh Tambuk.
“Tuh dia datang, panjang umur ini anak” timpal Waluhi.
“Maaf ya agak sedikit terlambat, mana senjanya? Kok yang ada ponton batu bara aja, nggak ada cewek-ceweknya juga, akh nggak seru!,” kata Bram yang baru tiba.
“Selawari-selawari, dasar kamu ya otak mesum. Pikiranmu cewek terus,” gerutu Tambuk.
Oh iya, Bram ini memang sering dipanggil Selawari. Sebab saat duduk di mana saja, selalu berfantasi hal yang menjurus porno.
Namun mereka bertiga ini selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba hal baru. Kali ini, mereka ingin mengukur kedalaman laut yang tampak tepat di bawah mereka duduk.
Waluhi, yang bertubuh sedang, melangkah masuk lebih dulu. Air sungai menyentuh betisnya, lalu naik ke lutut. Ia tersenyum santai.
“Ah, enggak dalam ini,” katanya sambil melangkah lebih jauh.
Selawari, yang paling jangkung dan berpostur besar, menyusul.
Ia berdiri di laut, air hanya mencapai pinggangnya.
“Betul, cuma segini saja,” ujarnya yakin.
Tambuk yang bertubuh kecil hanya mengangguk. Namun, di dadanya muncul rasa penasaran. Ia merasa ada yang janggal. Tapi Waluhi dan Selawari tampak yakin, jadi ia memilih diam.
Mereka pun naik kembali dan berjalan pulang. Namun, langkah Tambuk terhenti. Ada sesuatu dalam dirinya yang belum puas. Ia melihat ke arah bawah laut itu lagi, matanya menyipit berpikir.
“Aku harus mencoba sendiri,” gumamnya.
Dengan langkah cepat, ia kembali ke bawah laut seorang diri. Tanpa pikir panjang, ia turun ke dalam air. Awalnya, semuanya terasa baik-baik saja. Tapi semakin dalam ia melangkah, air naik ke perutnya, lalu ke dadanya. Hingga akhirnya…
“Astaga! Seleher sekalinya!” seru Tambuk terkejut.
Ia buru-buru naik ke tepian, napasnya tersengal. Kepalanya dipenuhi kebingungan. Bagaimana mungkin bagi Waluhi hanya sedalam lutut, bagi Selawari hanya sepinggang, tapi baginya hampir menenggelamkan?
Saat kembali ke rumah, ia termenung lama.
Dari sungai itu, ia belajar satu hal—tidak semua ukuran sama bagi setiap orang. Yang dangkal bagi satu orang bisa dalam bagi yang lain. Begitu pula dalam hidup, manusia tak bisa mengukur satu sama lain hanya berdasarkan pengalaman pribadi.
Dan sejak hari itu, Tambuk selalu bertanya, selalu mencari ukuran yang lebih pasti—karena ia tahu, manusia bukanlah alat ukur yang tepat.
Ahmad Musafir B, penggembala pikiran
BACA JUGA