Mengenal Badal Haji, Apa dan Bagaimana Hukumnya dalam Fiqih?

SMARTRT.NEWS – Sebentar lagi umat Muslim di dunia akan menunaikan rukun Islam kelima, berhaji bagi yang mampu. Menunaikan ibadah haji adalah dambaan setiap umat. Tak terkecuali bagi mereka yang terpaksa badal haji.
Banyak kisah para jamaah yang ingin berangkat mengalami pelbagai kendala. Bahkan, sampai meninggal dunia sebelum usai menunaikan seluruh rukun hajinya. Bisa pula sudah ada kekuatan finansial, namun secara fisik lemah sehingga tak bisa menunaikan haji.
Nah, seseorang yang memiliki udzur atau halangan untuk menunaikan haji kadang menunjuk orang lain untuk menggantikannya. Inilah yang dalam Fiqih disebut badal haji.
Lantas, apa hukumnya?
Hukumnya adalah mubah atau boleh. Dasar hukumnya mengacu pada dalil di bawah ini:
Seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ibu saya telah bernazar pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat. Apakah saya harus berhaji untuknya?”
Rasulullah bersabda, “Ya, pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya utang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah utang kepada Allah karena utang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR Bukhari).
Bisa untuk Mereka yang Masih Hidup
Secara bahasa, badal artinya pengganti. Adapun badal haji yakni haji yang pelaksanaannya melalui perwakilan orang lain. Seorang pria bisa membadalkan perempuan dan sebaliknya, perempuan dapat membadalkan laki-laki.
Niat dan ibadah hajinya khusus untuk seseorang yang batal berangkat dan atau memberi amanah kepada orang lain.
Merujuk buku Tuntunan Manasik Haji, versi Kementerian Agama, badal haji berlaku untuk tiga kalangan.
Yakni, pertama bagi orang yang sudah berkewajiban haji, yakni haji pertama atau bukan haji sunah. Haji nadzar pun terhitung sebagai kewajiban.
Saat ada orang yang sudah wajib haji (haji pertama) atau haji nazar itu wafat, ia dapat dibadalkan, baik semasa hidup sempat berwasiat maupun tidak.
Kedua, orang yang sudah mencapai derajat Istitha’ah (mampu berhaji), lalu sakit berat sehingga timbul kesulitan sebelum pelaksanaan haji (ma’dhub).
Terakhir, jamaah haji Indonesia yang sudah berada di Arab Saudi, tapi di sana kemudian sakit berat atau wafat sebelum sempat wukuf, maka hajinya boleh mendapat badal haji.
Tiga Kondisi yang Mungkin Terjadi
Jamaah yang meninggal dunia di Asrama Haji embarkasi, di perjalanan, atau di Arab Saudi sebelum melaksanakan wukuf. Kedua, jamaah yang sakit dan tidak dapat mengikuti safari wukuf karena pertimbangan keselamatan atau sangat bergantung peralatan medis. Ketiga, jamaah yang mengalami gangguan jiwa.
Tiga kondisi itu boleh dibadalkan. Badal hajinya dilakukan petugas haji dari pemerintah. Pihak keluarga atau jamaah terkait bebas biaya atas pelaksanaan badal haji tersebut.
Dalam konteks penyelenggaraan haji Indonesia, sebagai bukti pelaksanaan badal haji, pemerintah melalui ketua Daerah Kerja Makkah akan memberi sertifikat badal haji. Pihak keluarga orang yang dibadalkan hajinya nantinya akan mendapat sertifikat tersebut.
Pelbagai sumber
BACA JUGA