Menembus Hutan Mangrove Mencari Bekantan

Matahari sudah terlalu tinggi, ketika saya memutuskan mengunjungi Hutan Mangrove Margomulyo, di Balikpapan. Tujuannya sederhana. Ingin bertemu Bekantan, primata endemik Kalimantan, yang semakin terancam punah.
Ada dua akses masuk menuju hutan mangrove, saya memilih jalur tepat di samping SMA Negeri 8 Balikpapan. Setibanya di sana, saya melihat jembatan kayu yang menjadi akses menuju hutan bakau sudah rusak sebagian.
Ragu sejenak, tetapi keinginan melanjutkan perjalanan membuat saya tetap melangkah. Ini harus berhati-hati, menginjak papan yang rentan, sambil sesekali menahan napas saat melintasi bagian yang rapuh.
Dalam perjalanan, tampak jembatan yang lumayan lurus dengan pohon-pohon bakau di sekilingnya. Saya mulai menikmati pemandangan hutan bakau yang rimbun.
Suara alam mengiringi langkah. Bunyi gemericik air di sela akar-akar mangrove, dan suara kerang yang seolah berbisik dari dalam lumpur. Hutan Mangrove Margomulyo adalah rumah bagi beragam flora dan fauna. Membuat setiap sudutnya terasa hidup dan magis.

Jembatan menuju hutan mangrove terputus. (Smartrt)
Jembatan Putus
Namun, perjalanan saya kembali terhenti di sebuah tikungan tajam ke kanan. Jembatan di depan saya benar-benar putus, tak menyisakan celah melompat atau mencari pijakan.
Saya menghela napas, menimbang risiko.
“Lompat gak yah, waduh gak bisa nih,” gumam saya dalam hati.
Beruntung, dekat sebuah pendopo saya melihat dua pemuda setempat yang tengah bersantai.
Saya mendekat dan bertanya, “Permisi, Bang. Kalau mau lihat Bekantan, lewat mana ya?,”
Salah satu dari mereka menoleh, menguap sebentar sebelum menjawab: “Lewat jalan baru saja, Mas. Ada penjaganya kok di sana,” jawabnya.
Mereka menunjuk arah yang berbeda, jalur alternatif yang lebih aman. Saya tersenyum lega, berterima kasih, dan memutuskan untuk mengikuti saran mereka.
Saya mengikuti arah yang mereka tunjuk, menuju akses kedua menuju Hutan Mangrove Margomulyo. Jalur ini dikenal sebagai “jalan baru,” yang seharusnya lebih aman dan langsung menuju kawasan konservasi.
Namun, setibanya di sana, harapan langsung meredup. Gerbang yang seharusnya menjadi pintu masuk justru terkunci rapat. Tak ada satu pun orang yang bisa saya tanyai. Lalu mengintip ke dalam, berharap ada penjaga yang bisa saya panggil.
“Mana penjaganya?” gumam saya, kecewa.
Saya tetap berusaha, mengetuk gerbang kayu dan memanggil beberapa kali. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara angin berbisik di sela dedaunan mangrove. Suara khas Bekantan pun tak terdengar dari kejauhan.
Akhirnya, saya harus menerima kenyataan bahwa pertemuan saya dengan Bekantan harus tertunda untuk hari ini. Namun, kekecewaan ini mengingatkan pada pentingnya menjaga habitat satwa liar agar mereka tetap bisa bertahan hidup.
Tentang Bekantan
Bekantan, nama latinnya Nasalis larvatus dikenal dengan hidung besarnya yang mencolok, terutama pada pejantan dewasa. Hidungnya berfungsi sebagai daya tarik bagi betina dan sebagai alat resonansi suara.
Bekantan memiliki bulu berwarna cokelat kemerahan, ekor panjang, serta perut yang membulat. Karena sistem pencernaannya yang khas untuk mencerna daun-daunan bakau dan buah mangrove. Bekantan berperan penting dalam penyebaran biji-bijian yang membantu regenerasi hutan bakau.
Meski tubuhnya besar, Bekantan lebih memilih hidup tenang di pohon-pohon mangrove dan jarang turun ke tanah kecuali untuk mencari makanan atau melintasi perairan.
Satwa ini sangat bergantung ekosistem mangrove dan hutan rawa. Mereka hidup berkelompok, terdiri dari satu pejantan dominan dan beberapa betina serta anak-anaknya.
Bekantan juga dikenal perenang yang handal, memiliki selaput di antara jari-jarinya untuk membantu mereka bergerak di air saat menghindari predator.
Namun, populasi Bekantan terus menurun akibat deforestasi, alih fungsi lahan, dan perburuan ilegal.
Saat ini, menurut daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature), status Bekantan dikategorikan sebagai terancam punah (endangered).
Meski perjalanan saya hari ini tidak membuahkan pertemuan dengan Bekantan. Pengalaman semakin menguatkan kesadaran bahwa satwa liar seperti mereka, membutuhkan perlindungan yang lebih baik. Mungkin di lain waktu, saya akan mencoba kembali, berharap bisa melihat langsung primata unik ini.
Nugi Irmawan, penikmat bawang merah.
BACA JUGA