Megah di Atas Kertas, Berat di Lapangan: Dilema Revitalisasi Pasar Inpres Kebun Sayur

Oleh widodo pada 09 Jun 2025, 11:05 WIB

Smartrt. news. BALIKPAPAN – Langit Balikpapan tampak cerah. Di lorong sempit antara kios-kios Pasar Inpres Kebun Sayur, Nurhasanah mengatur susunan gelang manik-manik dan kalung batu akik di atas etalase kaca tuanya. Ia sudah lebih dari satu dekade berjualan di situ. Tangannya lincah, matanya penuh pengalaman.

“Pasar ini rumah saya,” katanya pelan, sambil memandang lalu lalang pengunjung. “Bukan cuma tempat cari makan. Tempat tumbuh,” ujarnya, Senin (9/6/2025).

Tapi hari-hari tenang itu kini diiringi kabar besar: Pasar Kebun Sayur akan direvitalisasi.

Rencana pembangunan tiga lantai dengan basement parkir menyebar cepat dari mulut ke mulut. Di antara sesama pedagang, berita itu seperti pedang bermata dua. Ada yang menyambut gembira, ada pula yang gelisah.

Bagi Nurhasanah dan banyak pedagang lain, pasar ini memang butuh pembaruan. Kios makin padat, selokan sering mampet, dan langit-langit bocor saat musim hujan.

“Kalau tujuannya memperbaiki, ya kami dukung. Siapa yang tidak mau tempat jualannya bersih, terang, nyaman?,” ujarnya dengan senyum optimis.

Irwan, pedagang batu hias yang sudah berjualan sejak 2005, juga mengangguk setuju. “Pasar ini bukan sembarang pasar. Ini sudah jadi ikon Balikpapan. Banyak turis datang ke sini cari batu akik, perhiasan Dayak, manik-manik. Kalau direnovasi, lebih bagus lagi.”

Tapi, Siapa yang Menanggung Biaya?
Meski setuju soal perbaikan, nada suara para pedagang berubah saat membahas soal pendanaan.

“Kalau dana pembangunannya dari swasta, bisa jadi pedagang nanti harus bayar sewa mahal. Itu yang kami takutkan,” ujar Nurhasanah. Ia mengingat pengalaman di pasar lain, di mana setelah dibangun oleh pihak ketiga, pedagang dikenakan biaya tambahan yang memberatkan.

Irwan menimpali, “Jangan seperti di tempat lain, setelah dibangun megah, pedagang lama tersingkir. Yang sudah belasan tahun di sini malah tak dapat tempat.”

Tak hanya soal uang. Hal lain yang menghantui mereka adalah pengundian tempat berjualan setelah pasar jadi.

“Yang kami alami, sering kali tempat bagus yang di depan, dekat pengunjung sudah dibooking orang dalam duluan,” kata Nurhasanah dengan suara getir. “Sementara kami yang kecil-kecil, dapatnya di pojok belakang. Mana ada pembeli ke sana?”

Lokasi adalah segalanya. Di pasar, kios depan bisa berarti omzet dua kali lipat dari yang di sudut belakang. Irwan khawatir, jika ia dipindah ke basement atau lantai atas, pelanggan setianya tak akan menemukannya lagi.

Pasar, Identitas, dan Harapan yang Rapuh
Bagi sebagian orang, revitalisasi adalah langkah menuju modernitas. Tapi bagi para pedagang Kebun Sayur, ini juga soal keadilan dan kelangsungan hidup.

“Pasar ini bukan cuma tempat dagang. Ini warisan budaya. Ini bagian dari jati diri kota,” ujar Irwan.

Mereka tidak menolak pembangunan. Tapi mereka ingin diajak bicara. Dilibatkan sejak awal. Bukan hanya menunggu keputusan dari atas, lalu pasrah dipindah atau dipaksa bayar mahal.

“Revitalisasi itu bagus,” kata Nurhasanah. “Tapi jangan sampai yang kecil-kecil seperti kami malah terpinggirkan. Kami hanya ingin keadilan.”

Sambil merapikan dagangannya sore itu, Nurhasanah menatap langit yang mulai mendung.

“Kalau memang pasar mau dibangun, kami harap pemerintah benar-benar berpihak pada pedagang kecil. Jangan hanya bagus di luar, tapi menyisakan luka di dalam.”

Pasar ini mungkin akan berubah rupa. Tapi mereka berharap, suara para pedagang tetap punya tempat di dalamnya. Bukan sekadar penghuni sementara bangunan megah.

Karena di balik etalase tua dan tumpukan kerajinan, tersimpan kisah hidup, kerja keras, dan harapan yang tidak ingin digusur.***