Masa Depan Pendidikan Indonesia di Titik Kritis

Refleksi Hari Pendidikan Nasional dan Tantangan Kurikulum Deep Learning
Oleh: Drs. Suprijadi, M.Pd
Dosen Universitas Mulia dan Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur
SETIAP tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momentum reflektif untuk melihat sejauh mana pendidikan kita berjalan menuju cita-cita bangsa: mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun, apakah kita sudah berada di jalur yang tepat? Atau justru pendidikan kita kini berada di persimpangan jalan yang membingungkan?
Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semakin relevan. Pendidikan kita tidak hanya menghadapi tantangan struktural dan kebijakan, tetapi juga ideologis dan filosofis, terutama dalam mengaktualisasikan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Deep Learning.
Menguji Kualitas: Sekolah Rakyat dan Ancaman Diskriminasi Struktural
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kebijakan “Sekolah Rakyat” yang bertujuan memberi akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Meskipun niatnya mulia, pelaksanaannya menimbulkan kekhawatiran. Alih-alih menjadi solusi, sekolah rakyat justru berpotensi melanggengkan dualisme dan diskriminasi pendidikan.
Menurut teori Equal Opportunity in Education (Bowles & Gintis, 1976), sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang tidak hanya membuka akses, tetapi juga menjamin kesetaraan kualitas. Mendirikan sekolah khusus untuk masyarakat miskin berisiko menciptakan segregasi sosial.
Hal ini sejalan dengan kritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengintegrasikan semua anak bangsa dalam satu sistem yang adil, bukan memisahkannya berdasarkan status ekonomi.
Solusinya bukan dengan membuka sekolah baru, melainkan memperkuat kolaborasi antar kementerian. Kementerian Sosial dapat bekerja sama dengan Kemendikbud untuk memastikan peserta didik dari keluarga miskin bisa diterima di sekolah negeri berkualitas tanpa seleksi.
Semua biaya pendidikan ditanggung negara, dengan tetap menjamin mutu sarana, prasarana, dan SDM pendidik. Ini jauh lebih hemat dan adil dibanding membuka sekolah baru dengan infrastruktur dan anggaran baru.
Kurikulum Deep Learning: Menjanjikan, Tapi Belum Menjawab Semua Tantangan
Kurikulum selalu menjadi ladang eksperimen dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengganti kurikulum lebih dari 12 kali.
Kini, kita dihadapkan pada Kurikulum Deep Learning, yang diklaim mampu menjawab tantangan abad ke-21 melalui tiga pendekatan:
1. Pemahaman Mendalam
2. Mindful Learning
3. Joyful Learning
Pendekatan ini selaras dengan teori konstruktivisme Vygotsky, yang menekankan pentingnya scaffolding (bantuan terstruktur) untuk membangun pemahaman melalui pengalaman yang bermakna.
Selain itu, Joyful Learning dan Mindfulness juga sejalan dengan pendekatan neuro-edukatif modern yang menekankan keseimbangan antara emosi dan kognisi. Namun ada yang terlupakan: pentingnya rote learning (strategi hafalan) sebagai fondasi memori jangka panjang. Dalam konteks psikologi kognitif (Anderson, 1980), rote memorization masih relevan, terutama pada tahap awal belajar.
Tanpa penguasaan dasar yang otomatis dalam memori jangka panjang, kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) justru tidak bisa berkembang optimal.
Kurikulum Deep Learning yang ideal haruslah sintesis antara pemahaman mendalam dan penguasaan fakta-fakta dasar. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan generasi yang merasa “senang belajar” tetapi miskin pengetahuan.
Refleksi Kebijakan: Pendidikan Butuh Konsistensi, Bukan Ganti Menteri Ganti Kurikulum
Salah satu tantangan besar dalam pendidikan kita adalah inkonsistensi kebijakan. Setiap kali terjadi pergantian menteri, seringkali kurikulum juga ikut berubah. Ini menunjukkan lemahnya arah dan haluan pendidikan nasional.
Sudah saatnya Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Haluan Pendidikan Nasional (GBHPN) yang bersifat jangka panjang, lintas rezim pemerintahan, dan disusun berbasis data, teori pendidikan, serta praktik terbaik global.
GBHPN harus menjadi “konstitusi pendidikan” yang memandu pengambilan kebijakan, bukan sekadar peta jalan jangka pendek seperti Roadmap 2045 yang kini ada.
Guru, Orang Tua, dan Masa Depan Pendidikan
Pendidikan bukan hanya urusan negara, tetapi juga tanggung jawab semua elemen bangsa. Hari Pendidikan Nasional adalah momen yang tepat untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada guru pahlawan tanpa tanda jasa—yang telah membentuk karakter dan intelektualitas anak bangsa di tengah berbagai keterbatasan.
Namun, keluarga juga harus menjadi aktor utama. Orang tua perlu menjadi guru pertama dan utama di rumah. Jika orang tua hanya menyerahkan anak sepenuhnya pada sekolah, maka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa akan berjalan pincang.
Dirgahayu Hari Pendidikan Nasional. Mari kita kawal masa depan pendidikan Indonesia agar tidak terus berada di persimpangan jalan. Pendidikan yang berkualitas, adil, dan berkesinambungan adalah satu-satunya jalan menuju Indonesia yang benar-benar maju dan berdaulat dalam kecerdasan.***
BACA JUGA