Mantan Presiden Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Aktivis-Korban Pelanggaran HAM Melawan

demo kontras
Para aktivis, akademisi, dan korban pelanggaran HAM masa lalu menggelar aksi di depan Kemensos RI, Kamis (15/5/2025). Foto: smartrt.news/@kontras_update/Instagram

Smartrt.news, JAKARTA – Sejumlah aktivis, akademisi, dan korban pelanggaran HAM masa lalu menggelar aksi di depan kantor Kementerian Sosial (Kemensos) RI, Jakarta, pada Kamis (15/5/2025).

Mengusung nama Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas), mereka menyatakan penolakan terhadap usulan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Poster dan spanduk bertuliskan #SoehartoBukanPahlawan dibentangkan dalam aksi tersebut. Para peserta aksi secara bergiliran berorasi, menyampaikan alasan mengapa Presiden ke-2 RI itu dianggap tidak layak mendapat gelar pahlawan nasional.

Salah satu suara penolakan datang dari akademisi hukum tata negara, Bivitri Susanti. Ia menegaskan bahwa penolakan terhadap gelar pahlawan bagi Soeharto bukan sekadar soal suka atau tidak suka, melainkan persoalan serius dalam kerangka hukum dan sejarah bangsa.

“Saya ada di sini sampai menyebut Soeharto bukan pahlawan tiga kali justru karena saya belajar hukum. Teman-teman aktivis di sini melihat langsung korban, merasakan langsung,” kata Bivitri.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu menilai bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan akan merusak fondasi hukum tata negara dan demokrasi Indonesia pasca-Reformasi.

Bivitri juga mengkritisi agenda politik pemutihan sejarah melalui narasi kepahlawanan dan revisi buku pelajaran.

Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berpotensi menghancurkan legitimasi moral dan politik dari seluruh agenda reformasi yang telah diperjuangkan.

“Soeharto tidak bisa, tidak boleh jadi pahlawan. Kalau itu terjadi, maka fondasi perjalanan politik dan tata negara yang sudah kita alami 27 tahun ini akan runtuh. Reformasi bisa jatuh,” tegasnya.

Amnesty International Indonesia Ikut Aksi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga turut hadir dalam aksi tersebut. Ia menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang tentang Gelar dan Tanda Jasa, telah diatur bahwa seorang pahlawan nasional harus memiliki integritas serta keteladanan moral dalam konteks kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan.

Menanggapi aksi ini, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) memberikan tanggapan diplomatis. Ia menyatakan bahwa pada prinsipnya pemerintah menerima setiap masukan dari masyarakat.

Gus Ipul menjelaskan bahwa usulan pahlawan nasional biasanya diajukan oleh masyarakat di daerah, kemudian dikaji oleh Kemensos bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

“Kementerian Sosial menerima masukan melalui prosedur normal yang semestinya. Mulai dari usulan masyarakat, kemudian diakomodasi oleh bupati-bupati, wali kota lewat tim yang dimiliki, naik ke gubernur dengan tim yang dimiliki, lalu kembali di Kementerian Sosial,” kata Gus Ipul.

Melansir laman Kemensos, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Mira Riyati Kurniasih, mengungkapkan bahwa sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

“Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira.

Beberapa tokoh yang kembali diusulkan antara lain K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Jenderal Soeharto (Jawa Tengah), K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).

Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini adalah Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).

Protes Mengalir di Dunia Maya

Penolakan terhadap rencana penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional juga mengalir di dunia maya. Melalui laman Change.org, lebih dari 6.000 warganet telah menandatangani petisi penolakan.

Dalam petisi tersebut, Gemas menyebut bahwa rekam jejak Soeharto menunjukkan ia tidak memenuhi tiga kriteria dalam Pasal 2 Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK).

Pasal tersebut menyatakan bahwa Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa:

  • Kemanusiaan berarti harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab;
  • Kerakyatan berarti mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan, demokrasi, serta permusyawaratan perwakilan;
  • Keadilan, berarti mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Gemas menyatakan bahwa selama 32 tahun kepemimpinannya, Soeharto telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM—termasuk pelanggaran berat. Serta menyalahgunakan kekuasaan melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).***

(Tim Smartrt.news/anang/sumber:kemensos, @kontras_update, berbagai sumber)

Tinggalkan Komentar