Mahasiswi Dibui Gegara Unggah Meme Prabowo-Jokowi: Polisi Dikritik, Kampus Buka Suara

Oleh kontributor achmad pada 10 Mei 2025, 13:15 WIB
Jokowi dan Pabowo

Presiden ke-7 Jokowi dan Presiden Prabowo dalam suatu kesempatan.(Foto:smartr.news/IG Kemensetnegri)

Smartrt.news, JAKARTA – Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap polisi setelah diduga menyebarkan meme yang menampilkan wajah Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo sedang berciuman. Meme yang viral dan diduga dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI) itu memicu polemik: antara kebebasan berekspresi dan batasan hukum di ruang digital.

Polri membenarkan telah menangkap seorang perempuan yang mengunggah meme bergambar Presiden RI Prabowo Subianto di media sosial X. “Benar, seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko kepada wartawan di Jakarta, Jumat. 

Mengenai identitas SSS, Brigjen Trunoyudo tidak mengungkapkannya. Jenderal polisi bintang satu itu mengatakan bahwa yang bersangkutan dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Tersangka SSS melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” katanya. 

Selanjutnya, pada saat ini, penyidik Bareskrim Polri masih dalam proses penyidikan terhadap SSS. Perempuan tersebut diketahui sebagai mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Polisi Dinilai Berlebihan, Mahasiswi Harusnya Dibebaskan

Merespons penangkapan itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah aparat sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi di ruang digital. Penangkapan mahasiswi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan.

Ekspresi damai seberapapun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Di samping itu, penangkapan ini juga bertentangan dengan semangat putusan terbaru MK yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana. Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik.

Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan.

Selanjutnya, lembaga negara sendiri termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia. Kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.

Menurut Amnesty, Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik.

Selain itu, kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka. Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil.

Kampus Buka Suara

Sementara itu, pihak kampus menyampaikan pernyataan resmi menanggapi peristiwa ini. Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Nurlaela Arief, menyebut bahwa kampus telah berkoordinasi secara intensif dengan berbagai pihak. 

ITB telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Pihak orang tua dari mahasiswi sudah datang ke ITB pada Jumat, 9 Mei 2025), dan menyatakan permintaan maaf.

“Kami juga telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) dan pihak-pihak terkait lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.***

(Tim Smartrt.news/anang/Amnesty International Indonesia/berbagai sumber)