Macet, Salat Idul Fitri 1446 H di BIC Terlambat,  Prof. Dr. Abdul Majid Ungkap Makna Puasa dan Derajat Tertinggi Manusia

Prof. Dr. Abdul Majid ketika kutba Idul Fitri 1446 H di Masjid Madinatul Iman Balikpapan.(Foto:smartrt.news/ tangkapan layar Btv)

Smartrt.news, BALIKPAPAN,- Salat Idul Fitri 1446 H di Masjid Madinatul Iman, diikuti ribuan jamaah meski sempat terjadi keterlambatan akibat kemacetan yang membuat banyak jamaah terjebak di luar masjid.

“Kami meminta kepada panitia untuk menunggu jamaah yang masih berada di luar. Dan setelah sudah pada masuk, barulah kita mulai,” kata Walikota Rahmad Mas’ud pada saat memberikan sambutan sesaat sebelum dimulainya salat Idul Fitri, Senin (31/03/2025) .

Berdasarkan pemantuan, sekitar pukul 07.30 Wita imam memulai pelaksanaan salat Idul Fitri. Karena tingginya antusiasme jamaah, banyak kendaraan yang diparkir di jalan kawasan RSS, dengan jamaah berjalan kaki menuju tempat salat.

Masjid Madinatul Iman masih dapat menampung jamaah di lantai dua dan tiga, meskipun lantai pertama dan pelataran sudah penuh. Banyak jamaah laki-laki maupun perempuan memilih salat di selasar pintu masuk utama, sehingga menghambat pergerakan jamaah yang akan masuk.

Pada salat Idul Fitri tahun ini, Prof. Dr. Abdul Majid SE SAG. MA, guru besar Universitas Islam Negeri  Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, bertindak sebagai penceramah. Sementara itu, imam KH Muhammad Jailani Mawardi memimpin salat Idul Fitri yang khusyuk dan penuh berkah.

Ceramah: Prof. Dr. Abdul Majid, SE, S.Ag., MA

Dalam awal kutbahnya, Prof Abdul Majid menunjukkan ada tempat dan waktu tertentu yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa. Amalan yang dilakukan di tempat-tempat tersebut memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan di tempat lain.

“Saat menjalankan ibadah haji dan umrah, kita meninggalkan berbagai urusan duniawi, begitu pula di bulan Ramadan. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa muara dari setiap ibadah yang disyariatkan adalah ketakwaan, yang berujung pada akhlak mulia,” ujarnya.

Dikatakannya, meskipun kita telah meninggalkan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau bulan Ramadan dengan segala amalannya, kita harus tetap rajin beribadah dan menjauhi maksiat. Jangan sampai setelah mengumpulkan banyak amal, kita justru menjadi lalai.

“Kita tetap harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ibadah. Suasana kebatinan yang kita rasakan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau di bulan Ramadan seharusnya tetap terpatri dalam hati dan memancar kapan pun. Serta di mana pun kita berada. Ibarat baterai ponsel, iman kita harus selalu diisi ulang agar tetap kuat dan stabil,” katanya.

Dua Jenis Puasa dalam Islam

Dalam lanjutan kutbahnya, Prof Abdul Majid membeberkan dua arti kata puasa.

  1. Puasa (Shaum) Dalam Al-Qur’an, terdapat istilah shaum, yang berarti puasa bicara. Contohnya adalah puasa bicara yang dilakukan oleh Bunda Maryam, ibu dari Nabi Isa AS. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Saya telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa, maka mulai hari ini saya tidak akan berbicara kepada siapa pun.” (QS. Maryam: 26)

Dalam konteks kehidupan modern, puasa bicara atau “puasa komentar” sering kali diperlukan, terutama jika yang dibicarakan adalah hal-hal yang di luar pengetahuan kita. Saat ini, banyak kegaduhan di media sosial akibat komentar yang dilontarkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Hal ini berbahaya karena dapat membangun persepsi yang keliru di masyarakat.

Prof Abdul Majid kemudian menukil dalam salah satu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah menyebutkan bahwa salah satu tanda kiamat adalah ketika ruwaibidah ikut berbicara dalam persoalan umum.

Sahabat bertanya, “Siapakah ruwaibidah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan umat.”

Ini menunjukkan bahwa kehancuran sebuah masyarakat bisa terjadi bukan hanya karena kiamat besar, tetapi juga akibat banyaknya pendapat yang tidak berdasar dan hanya dibangun atas persepsi tanpa fakta yang valid.

“Inilah yang kadang disebut kebenaran baru. Kebenaran baru yang berbeda dengan kebenaran lama. Jika kebenaran lama dibangun di atas fakta yang falid, maka kebenaran baru dibangun di atas persepsi di media sosial tanpa kroscek di lapangan. Ini sangat berbahaya, karena dapat menyulut konflik di Masyarakat,” katanya.

Dalam persoalan agama, Prof Abdul Majid, lebih baik kita menyerahkan perdebatan kepada para ulama. Kita hanya perlu memilih pendapat yang paling mendekatkan diri kepada Allah, tanpa harus berdebat dengan sesama orang awam.

“Para ulama meskipun berbeda pendapat, tetap saling menghormati dan menghargai,” katanya.

Puasa (Shiyam) di Bulan Ramadan

  1. Puasa (Shiyam) Jenis puasa kedua adalah shiyam, yaitu puasa yang kita jalankan di bulan Ramadan. Puasa ini bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam puasa Ramadan, kita menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri di siang hari.

“Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia, dan banyak konflik bahkan peperangan terjadi karena persoalan perut dan hawa nafsu. Dengan berpuasa, kita dilatih untuk mengendalikan diri agar menjadi manusia yang berkepribadian luhur,” ucapnya.

Puasa dan Perkembangan Kepribadian

Prof Abdul Majid kemudian mengutip pendapat Sigmund Freud, seorang psikolog Austria. Dia membagi perkembangan kepribadian manusia menjadi beberapa tahap:

  1. Tahap Oral – Bayi menemukan kenikmatan dari mulutnya, seperti menyusu.
  2. Tahap Anal – Anak-anak mendapatkan kesenangan dari buang air.
  3. Tahap Genital – Masa pubertas, di mana ketertarikan terhadap lawan jenis mulai berkembang.

Jika seseorang mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian, ia bisa terjebak di salah satu tahap tersebut. Misalnya, orang dewasa yang masih terlalu fokus pada makan, minum, atau seks dapat dikatakan mengalami fiksasi pada kebutuhan dasar manusia.

“Kaum muslimin… Bila disaksikan, kebutuhan pada masa anak-anak itu semuanya pada fisik. Tidak ada sama sekali kebutuhan Rohani,’ katanya.

Dalam dunia modern, banyak orang mengalami fiksasi pada tahap materialisme. Mereka mengejar kenikmatan melalui kekayaan, makanan, atau harta benda tanpa memahami kebutuhan rohani.

“Terkadang ada seorang itu,  usianya  sudah dewasa, namun kebutuhannya masih se-level simbolisasi dari kebutuhan anak-anak tadi. Makan, minum, dan (maaf) seks,” katanya.

Bisnis makanan dan hiburan menjadi industri yang paling banyak menyedot uang di dunia modern. Banyak orang merasa puas hanya dengan menumpuk harta, bukan dengan memanfaatkannya untuk kebaikan.

Kisah Tragis Ibu Kaya di Kampung

Guru Besar ini kemudian menceritakan kisah seorang ibu di salah satu kampung.  Ibu ini dikenal sebagai orang kaya. Kaya dalam standar kampung. Tetapi sehari-hari, dia hanya makan dengan nasi yang amat sedikit. Lauk pauknya dia cari sendiri dengan merendam dirinya di sungai untuk memperoleh ikan.

Pakaian yang biasa dipakainya sangat sederhana. Ketika meninggal dunia, lemarinya dibuka. Herannya, lemari itu penuh dengan pakaian-pakaian yang mewah. Orang tidak pernah melihat, ia memakai pakaian-pakaian itu. Ia juga meninggalkan uang yang bertumpuk-tumpuk.

“Orang tidak tahu, bahwa ibu itu memperoleh kenikmatan tidak  mempergunakan semua harta dan barangnya. Ia memperoleh kenikmatan, ketika membuka lemari dan memandang hartanya itu, seraya berkata pada dirinya. Semua ini adalah milikku,” jelas Prof Abdul Majid.

Islam dan Penyucian Harta

Dalam Islam, harta bukanlah sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi harus dibersihkan melalui zakat dan sedekah. Orang kaya yang terbaik adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rajin berderma, seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan.

“Orang kaya yang terbaik adalah orang kaya yang beriman kepada Allah, dan hari pembalasan. Sehingga dia rajin berderma, dan mengulurkan tangannya pada orang-orang yang tidak mampu,” katanya.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Lail:

“Barang siapa yang memberi dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan. Dan barang siapa yang bakhil serta merasa dirinya cukup (tanpa Allah), maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kesulitan.” (QS. Al-Lail: 5-10)

Aktualisasi Diri dalam Islam

Seorang psikolog Amerika, Abraham Maslow, membuat hierarki kebutuhan manusia yang dikenal sebagai “Piramida Maslow”. Semakin tinggi tingkatannya, semakin abstrak kebutuhan manusia:

  1. Kebutuhan biologis (makan, minum, tempat tinggal)
  2. Kebutuhan akan rasa aman
  3. Kebutuhan kasih sayang
  4. Kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan
  5. Kebutuhan aktualisasi diri (puncak kebutuhan manusia)

Dalam Islam, aktualisasi diri disebut sebagai at-tamarrur rohani atau proses penyempurnaan spiritual. Manusia yang paling tinggi derajatnya adalah mereka yang lebih mementingkan kebutuhan rohani dibanding kebutuhan jasmani.

Bulan Ramadan melatih kita untuk berkembang ke tingkat spiritual yang lebih tinggi. Kita belajar meninggalkan keterikatan terhadap tubuh dan mulai mendekatkan diri kepada roh kita. Orang yang terikat pada rohnya lebih besar daripada tubuhnya akan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Ia tidak akan mudah marah, tidak akan sakit hati, dan tidak akan mudah terpengaruh oleh perubahan duniawi.

“Dia tidak akan marah, ketika semestinya ia membalas dendam. Dia tidak sakit hati, ketika orang menyakiti hatinya. Nafsunya, sudah terkendalikan. Menahan makan dan minum. Serta menahan diri dari perbuatan zina, sudah termasuk pada tingkat kewalian paling awal,” katanya.

Jika orang sudah berhasil mengendalikan tubuhnya, maka yang tingkat ketiga adalah, ketika rohnya sudah bisa mengendalikan gerakan alam semesta.

“Kalau dia menyatakan sesuatu itu jadi, dengan izin Allah maka jadilah sesuatu itu. Kalau dia meminta pohon itu berbunga, Dengan izin Allah, maka berbungalah pohon itu. Dari dirinya memancarkan sesuatu, yang menggerakkan dan menggoncangkan seluruh molekul-molekul di sekitarnya,” katanya menutup kutbah pertama Idul Fitri 1446 H.***