Lipstick Effect: PHK, Daya Beli Turun tapi Banyak Warga Kongkow dan Liburan

SMARTRT.NEWS – Fenomena makro ekonomi Indonesia saat ini cukup mengejutkan. Di tengah maraknya PHK massal, daya beli turun, anjloknya kelas menengah, tapi masih banyak yang menghabiskan uang ke tempat rekreasi, nonton bioskop, kongkow atau nongkrong di cafe, atau sekadar eksplorasi tempat wisata baru.
Padahal saat bersamaan, gaji masyarakat tidak naik signifikan, cicilan KPR masih banyak.
Selain itu saat libur panjang Isra’ Mi’raj dan Imlek lalu, tempat-tempat wisata dan hiburan masih dipenuhi pengunjung sampai menyebabkan kemacetan. Hal ini memantik perhatian Pakar Bisnis, Profesor Rhenald Kasali. Ia menilai saat ini masyarakat mencari hiburan terjangkau untuk mendapatkan kebahagiaan.
“Libur panjang, jalanan macet kembali, dan hari libur tahun ini diperkirakan lebih dari 100 hari dalam setahun, banyak libur ditambah sabtu minggu,” ujar Rhenald, lewat unggahan Instagram @rhenald.kasali, dikutip di Balikpapan, pada Sabtu (1/2/2025).
Ia pun melontarkan pertanyaan, “Jadi, kenapa jalan tetap ramai? Padahal, banyak yang mengatakan daya beli turun, jumlah kelas menengah berkurang, pengangguran banyak, orang kena PHK apalagi, anak muda susah cari kerja,” imbuhnya.
Rhenald bilang, “Masyarakat selalu mencari kemewahan menghibur diri, untuk mendapat kebahagiaan, tetapi yang dicari adalah semakin yang terjangkau,” imbuh Rhenald.
Ia menganalisa, aktivitas liburan tergolong sebagai satu kemewahan yang terjangkau. Masyarakat biasa memilih liburan yang tidak jauh dari rumah mereka.
Rhenald memberi ilustrasi lain, dengan membeli barang mewah seperti mobil. Menurutnya, tidak sedikit orang yang tetap berupaya membeli mobil sesuai keinginan, meskipun tak sesuai budget.
Mereka pun mencari alternatif mobil yang lebih terjangkau seperti mobil produk Cina.
Rhenald mengatakan, fenomena seperti ini kerap disebut dengan istilah lipstick effect, kondisi perubahan gaya konsumsi yang terjadi pada kondisi ekonomi tertentu. Istilah ini pertama kali dicetuskan Chairman Emeritus The Estée Lauder Companies Inc Leonard Lauder saat tragedi 9/11 di Amerika Serikat.
Saat itu, daya beli turun hingga sulitnya mencari pekerjaan, bahkan orang-orang kesulitan mengunjungi Amerika. Namun ia melihat keanehan, saat itu penjualan lisptik justru meningkat pada kala itu.
“Jadi, terjadilah efek yang disebut sebagai kemewahan terjangkau, dan lipstick adalah satu kemewahan yang harganya tidak terlalu mahal,” ujarnya.
Tentang Lipstick Effect
Istilah lipstick effect menggambarkan kecenderungan individu untuk menghabiskan uang pada produk kecil dan terjangkau. Misalnya membeli lipstick, saat menghadapi masa-masa ekonomi sulit. Konsep ini menyoroti perubahan perilaku konsumen yang mengutamakan produk yang dapat memberi kepuasan emosional.
Siklus ekonomi yang fluktuatif, seperti saat terjadi inflasi, deflasi, atau resesi, bisa memperkuat lipstick effect. Fenomena lipstick effect menunjukkan bagaimana manusia beradaptasi dengan keadaan, mencari cara untuk memberi kebahagiaan kepada diri sendiri di tengah tantangan finansial.
Lipstick effect pertama kali diperkenalkan Leonard Lauder, mantan CEO Estée Lauder, yang menyaksikan peningkatan penjualan lipstick selama masa resesi.
Hal ini terjadi karena meski banyak konsumen mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mewah, mereka tetap mencari cara untuk memberikan kebahagiaan kepada diri sendiri.
Fenomena ini tak hanya berkaitan produk kecantikan, tapi juga mencerminkan dinamika psikologi konsumen. Saat merasa stres atau tertekan, seseorang akan cenderung mencari cara untuk merasa lebih baik. Membeli barang-barang kecil dapat memberikan rasa senang yang dibutuhkan.
Lipstick effect bisa juga menjadi cara seseorang agar tetap bisa mendapat kebahagiaan ketika menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Redaksi
BACA JUGA