Lindungi Suara Mahasiswa: AJI dan UNESCO Dorong Perlindungan Pers Mahasiswa di Era Digital

Oleh widodo pada 04 Mei 2025, 16:58 WIB
seminar PPMI

Sekjen PPMI Wahyu Gilang ketika menceritakan kekerasan yang dialami. Tampak pula, Ketua AJI Indonesia Nany Afrida, Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong sebagai narasumber. Dan Kepala Desk Humaniora Harian Kompas, Evy Rachmawati sebagai moderator.(Foto: smartrt.news/AJI Indonesia)

3 Poin Penting Berita:

  1. AJI dan UNESCO kolaborasi dorong perlindungan pers mahasiswa: Seminar nasional di IAIN Kediri memperingati World Press Freedom Day 2025 menyoroti pentingnya perlindungan terhadap pers mahasiswa dari ancaman fisik, digital, hingga tekanan institusi.
  2. Indeks kebebasan pers Indonesia merosot, pers mahasiswa makin rentan: Ketua AJI Indonesia Nany Afrida menyoroti merosotnya indeks kebebasan pers Indonesia ke posisi 127 dunia dan minimnya perhatian terhadap represi yang dialami pers mahasiswa.
  3. UNESCO: Literasi digital dan etika jurnalisme kunci perlindungan pers mahasiswa: Perwakilan UNESCO Ana Lomtadze menegaskan pentingnya bekal literasi media dan keamanan digital untuk menghadapi tantangan kecerdasan buatan dan transformasi digital.

Smartrt.news, KEDIRI,- Bertepatan dengan memperingati World Press Freedom Day 2025, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) menggelar Seminar Nasional di Auditorium IAIN Kediri, Minggu (4/5/2025). Mengusung tema “Memperkuat Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital”, acara ini mendapat dukungan penuh dari UNESCO.

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menekankan bahwa lembaga pers mahasiswa memainkan peran strategis sebagai media independen di kalangan muda yang kritis, tidak hanya dalam isu kampus, tetapi juga permasalahan masyarakat luas. Namun, mereka juga menghadapi tekanan dan represi, baik secara fisik maupun digital.

“Bukan rahasia lagi bahwa kebebasan pers di Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Bahkan memburuk. Tahun ini, indeks kebebasan pers kita turun ke posisi 127 dari 180 negara. Ini mencerminkan situasi lapangan yang suram, termasuk bagi pers mahasiswa,” ungkap Nany.

Ia juga menyoroti bahwa kekerasan terhadap pers mahasiswa jarang disorot dalam laporan resmi. “Tantangan semakin kompleks. Di satu sisi, kita menghadapi disinformasi, ujaran kebencian, hoaks, tetapi di sisi lain, pers mahasiswa justru menjadi sasaran sensor dan tekanan institusi,” tegasnya.

UNESCO Sampaikan Pandangan Global

Ana Lomtadze dari UNESCO turut hadir secara daring dan menyampaikan pandangan global terkait transformasi digital. Ia menyoroti pengaruh kecerdasan buatan terhadap kebebasan berekspresi dan pentingnya peran pers mahasiswa dalam meningkatkan kesadaran publik dan melawan disinformasi.

“Literasi media sangat penting untuk membantu mahasiswa berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan menghadapi lanskap digital dengan lebih aman. Kami di UNESCO bersama AJI berkomitmen untuk memperkuat jurnalisme dan etika di kalangan pers mahasiswa,” ujarnya.

Baca juga:

Seminar ini juga menghadirkan empat pembicara, di antaranya Sekjen PPMI Wahyu Gilang yang mengungkap bahwa sepanjang 2013–2021 terdapat 331 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Selanjutnya Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong turut berbagi pandangan mengenai tantangan dan relevansi pers mahasiswa di era digital. Acara dimoderatori oleh Kepala Desk Humaniora Harian Kompas, Evy Rachmawati.***

Tonton ulang seminar lengkapnya di YouTube: bit.ly/seminar-persma

(Tim Smartrt.news/anang/Sumber: Siaran Pers AJI Indonesia)