Kisah Batik Shaho: Dari Balikpapan untuk Dunia, dari Hati untuk Sesama

Smartrtrt.news, BALIKPAPAN – Di sudut Kota Balikpapan, tepatnya di sebuah rumah produksi sederhana Jalan LKMD RT 5 Batu Ampar tangan-tangan cekatan sedang menorehkan lilin panas di atas selembar kain. Suara malam yang tenang hanya diselingi gemericik air dan sesekali tawa kecil. Namun, tawa itu berbeda. Tidak bersuara—hanya senyuman yang menyala dan tatapan penuh semangat dari para pembatik yang kebanyakan adalah penyandang disabilitas tuli.
Inilah Batik Shaho. Bukan sekadar batik biasa, tapi cerita panjang tentang warisan budaya, perjuangan, dan keberanian untuk inklusif.
Didirikan pada tahun 1996 oleh Agus Supratono dan istrinya Haryati, Batik Shaho lahir dari kecintaan terhadap budaya Kalimantan. Nama “Shaho” sendiri merupakan singkatan dari nama seluruh anggota keluarga mereka: Supratono, Haryati, Ardi, Hendri, dan Oki. Mereka bukan hanya ingin melestarikan budaya, tetapi juga ingin membangunnya bersama siapa pun—termasuk mereka yang seringkali terpinggirkan.
Motif Batik Shaho tak bisa ditemukan di tempat lain. Melengkung seperti ukiran Dayak, membentuk spiral dan lingkaran, hingga menggambarkan siluet manusia dalam gaya khas Kalimantan Timur. Pewarnaannya? Menggunakan serbuk kayu ulin—tanaman khas hutan Kalimantan. Hasilnya adalah batik yang tidak hanya indah, tapi juga sarat makna.
Oki, salah satu generasi penerus, membawa semangat baru dalam bisnis ini. Ia tidak sekadar menjaga kualitas produk, tetapi juga memperjuangkan ruang bagi kaum tuli untuk berkarya.
“Para pekerja di sini rata-rata penyandang disabilitas tuli. Kami ingin mereka punya tempat untuk berkembang, bukan dikasihani,” kata Oki sambil menunjuk salah satu kain yang sedang dijemur. “Kami juga sudah mulai mengajar membatik di Sekolah Luar Biasa. Supaya keterampilan ini bisa ditularkan.”
Perjuangan mereka tidak sia-sia. Pada 2018, Batik Shaho resmi terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Kini mereka tak ragu lagi untuk menargetkan pasar yang lebih luas, bahkan menembus panggung internasional. Australia, Amerika, Perancis batik buatan tangan para penyandang disabilitas ini telah sampai ke sana.
“Dengan merek yang terdaftar, kami bisa percaya diri ajukan program ke dinas. Kita bisa tumbuh lebih besar, lebih percaya diri,” ujar Oki.
Dan kini, sebuah panggung besar menanti.
Pada even Dekranas 2025 yang digelar di BSCC Dome Balikpapan, 9–11 Juli mendatang, Batik Shaho akan tampil sebagai salah satu primadona dari Balikpapan Utara. Forum Ekonomi Kreatif setempat, yang menjadi kurator UMKM unggulan, memilih Batik Shaho sebagai simbol kekuatan budaya lokal.
“Sudah jadi ciri khas, banyak dicari pengunjung luar daerah. Batik Shaho selalu jadi incaran,” kata Riswahyuni, Ketua Forum Ekraf Balikpapan Utara.
Mereka bahkan memasang target berani—omzet Rp50 juta per hari selama expo berlangsung. Bukan angka sembarangan, tapi hasil pengalaman panjang dari event nasional seperti APEKSI.
Bukan hanya produk, penampilan pun disiapkan matang. Booth yang rapi, roll banner yang informatif, hingga seragam penjaga stand, semua dipikirkan agar tampil maksimal dan profesional.
“Ini bukan cuma soal jualan. Ini tentang bagaimana kita membawa cerita budaya Balikpapan ke depan publik. Dan Batik Shaho punya cerita kuat untuk itu,” tutur Riswahyuni.
Di balik selembar kain batik Shaho, ada semangat untuk terus hidup, untuk terus berkarya, dan untuk membuat dunia melihat: bahwa keindahan bisa datang dari tangan siapa saja, dan dari tempat yang mungkin tak pernah disangka.***