Khawatir Dwi Fungsi ABRI Hidup Kembali, Jumlah Penggugat UU TNI Terus Bertambah

Unjukrasa di Balikpapan, tepatnya depan kantor DPRD Balikpapan berlangsung tertib.(Foto:smartrt.news/humas DPRD Balikpapan)
SMARTRT.NEWS – Mahkamah Konstitusi terus menerima gugatan atas UU TNI, yang dinilai kontroversi. Terutama potensi Dwi fungsi ABRI yang dinilai publlik bisa hidup kembali. Atas kekhawatiran itu, kelompok para penggugat terus bertambah.
Terbaru, gugatan berasal dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Mereka menyerahkan berkas permohonan uji formal UU TNI ke Kepaniteraan MK pada Selasa, (29/4/2025).
Masuknya gugatan ini, menambah daftar jumlah pemohon uji formal dan uji materiel UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di MK terus bertambah.
Dengan permohonan itu, MK mencatat telah menerima delapan gugatan UU TNI yang baru.
Merujuk situs resmi MK, para pemohon gugatan terbaru itu bernama Rasyid bersama empat rekannya. Yakni, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. Mereka berasal dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jabar.
“Kami memohon kepada Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan uji formal untuk seluruhnya, menyatakan UU Nomor 3 Tahun 2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD NRI Tahun 1945,” bunyi pemohon itu.
Melalui laman resminya, tujuh permohonan adalah uji formal, sementara satu permohonan lainnya uji materiel.
Untuk uji formal yaitu pengujian terkait prosedur pembentukan suatu undang-undang. Adapun uji materil pengujian terhadap norma atau materi muatan suatu peraturan perundang-undangan. Terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Delapan Kelompok Penggugat
Ada delapan kelompok yang menggugat UU TNI. Kedelapan permohonan itu, yakni: pertama, Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
Penggugat kedua, Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025 dari dua orang sarjana hukum, Christian Adrianus Sihite dan Noverianus Samosir.
Ketiga, Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025. Melalui Muhammad Bagir Shadr, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, dan Thariq Qudsi Al Fahd. Ketiga pemohon ini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Keempat, Perkara Nomor 57/PUU-XXIII/2025 dengan pemohon Bilqis Aldila Firdausi, Farhan Azmy Rahmadsyah, dan Lintang Raditya Tio Richwanto. Mereka mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Lalu penggugat kelima, Perkara Nomor 58/PUU-XXIII/2025 oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam, Hidayatuddin dan mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Politeknik Negeri Batam, Respati Hadinata.
Keenam, permohonan dari empat mahasiswa magister di Universitas Indonesia, yaitu Masail Ishmad Mawaqif, Reyhan Roberkat, Muh Amin Rais Natsir, dan Aldi Rizki Khoiruddin.
Ketujuh, permohonan dari lima orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, antara lain, Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.
Penggugat kedelapan, permohonan uji materiel oleh Prabu Sutisna, Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin, dan Chandra Jakaria.
Untuk tiga permohonan terakhir belum teregistrasi oleh Mahkamah. Sebab itu, ketiganya belum memiliki nomor perkara.
Penolakan di Pelbagai Kota
Pengesahan RUU TNI menjadi Undang-undang memantik penolakan massif dari publik. Bahkan sejumlah elemen masyarakat dari mahasiswa, aktivis sampai masyarakat umum menghelat aksi di berbagai kota.
Mereka turun ke jalan menolak UU TNI yang telah disahkan DPR pada 20 Maret lalu. Aksi unjuk rasa tak hanya berlangsung di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, dan Surabaya.
Melainkan juga berlangsung di Jayapura, Tasikmalaya, Sukabumi, Jember, Majalengka, Lumajang, Blitar Kupang hingga Ende di NTT. Termasuk di Balikpapan dan Samarinda.
Para pengunjuk rasa menilai UU TNI yang baru berpotensi mengembalikan Indonesia ke masa otoriter Orde Baru. Mereka khawatir pemerintah akan melarang berserikat dan bersuara mengkritik kebijakan pemerintah. Ketakutan ini menjadi sebuah risiko besar bagi keberlangsungan demokrasi.