Kepala Babi, Bangkai Tikus dan Pena Tajam

Publik heboh terhadap serangan teror untuk redaksi Tempo. Jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana yang karib disapa Cica, menerima paket berisi kepala babi. Sebagai host siniar Bocor Alus Politik, ia memang terkenal kritis. Kebetulan, ia pula yang membuka paket itu pada Kamis sore, 20 Maret 2025.
Selang dua hari, giliran petugas kebersihan Tempo menjadi orang pertama yang menemukan paket berisi enam bangkai tikus. Semua kepalanya terpenggal, tertumpuk bersama tubuh bangkai itu.
Negeri yang klaimnya demokratis, ternyata para penjahatnya masih menganggap jurnalis lebih berbahaya dari koruptor. Koruptor masih dapat potongan hukuman, remisi, bahkan ada yang jadi komisaris BUMN.
Kalau jurnalis? Mereka malah mendapat teror, ancaman, penganiayaan, tuntutan hukum. Bahkan dapat paket berisi kepala babi dan bangkai tikus ke kantornya.
Tempo, memang media paling kritis. Tidak heran, media ini mendapat kiriman kepala hewan najis bagi umat Muslim. Teror semacam ini, bagi jurnalis Indonesia, bukan kali pertama.
Pada November tahun 1984, Harian Suara Indonesia pernah mendapat kiriman kepala manusia.
Apakah semua kiriman paket itu salah kirim? Tentu saja, kita semua tahu ini bukan sekadar salah kirim. Ini pesan intimidasi mental, yang cukup efektif: tutup telinga, atau kena potong seperti babi. Pejamkan mata, atau terpenggal seperti kiriman bangkai tikus. Tutup mulut, atau hadapi konsekuensinya.
Tutup Mata, Tutup Telinga
Pesan itu sangat jelas: para jurnalis, khususnya Tempo, jangan lagi menajamkan penanya.
Segera tumpulkan pena. Tutup mata, tutup telinga dan tutup mata. Dalam teori komunikasi kita mengenal semiotik. Ilmu tentang simbol-simbol. Kirirman kepala babi dan tikus, semua tahu apa maksudnya.
Jurnalis yang sudah kenyang pengalaman tahu bahwa kiriman ini bukan sekadar urusan kuliner. Bukan menu buka puasa. Ini pesan klasik, “Hati-hati, atau sesuatu yang lebih buruk bakal menanti.”
Ancaman seperti ini bukan kali pertamanya bagi jurnalis dan media di Indonesia.
Setiap kali ada pemberitaan terlalu kritis, selalu ada cara membungkamnya. Mulai ancaman langsung, tuntutan hukum yang absurd, pemutusan kontrak iklan, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan.
Tentu, kiriman paket untuk Tempo atau apapun ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis bukan satu-satunya kejadian. Di Indonesia, mengacu data Aliansi Jurnalis Independen, sepanjang 2023 terjadi 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Beragam bentuk, mulai intimidasi, peretasan, hingga kekerasan fisik.
Ribuan Jurnalis Terbunuh
Di pelbagai belahan dunia, jurnalis memang selalu masuk daftar ‘spesies’ yang terancam punah.
Sejak 1994 hingga April 2024, menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), setidaknya 1.471 jurnalis terbunuh saat menjalankan tugasnya. Adapun Reporters Without Borders mencatat 1.705 jurnalis dan pekerja media tewas dalam periode 1994–2024. Ironisnya, sembilan dari 10 kasus pembunuhan jurnalis tenggelam. Tidak jelas.
Kasus-kasus ancaman dan pembunuhan di luar negeri lebih mengerikan lagi.
Misalnya Caruana Galizia, jurnalis investigatif yang meninggal setelah mobilnya meledak dalam satu insiden pada Oktober 2017. Ia dikenal kerap membongkar skandal politik dan kejahatan finansial yang dilakukan elit dan politisi. Termasuk mengungkap kasus Panama Papers.
Usai insiden berdarah itu, Perdana Menteri Malta Joseph Muscat mengundurkan diri. Tewasnya Caruana, menambah daftar panjang pembunuhan terhadap jurnalis yang kritis. Meski kasusnya sudah lama, tetapi bukan berarti pembunuhan terhadap wartawan telah berakhir.
Di Denmark, bahkan seorang jurnalis ditemukan dalam kondisi tubuh dimutilasi. Kim Wall tewas setelah menghilang. Jasadnya ditemukan tanpa kaki, tangan dan kepala. Galizia dan Wall, keduanya jurnalis wanita.
Meksiko, Negara Terbesar yang Bunuh Wartawan
Pembunuhan terhadap Caruana dan Wall, masih kalah mengerikan dibanding yang dialami jurnalis investigatif di Meksiko. Pada Maret 2017, di bulan itu pula empat jurnalis dibunuh. Sepanjang rentang 2000-2016, sedikitnya 99 jurnalis Meksiko tewas dibunuh.
Bahkan, pembunuhan yang marak itu sampai menyebabkan surat kabar Norte, tutup. Media yang telah berdiri selama 27 tahun itu terpaksa ditutup lantatan awak medianya banyak yang dibunuh.
Pembunuhan terakhir sebelum media itu ditutup, menimpa jurnalis Norte, bernama: Miroslava Breach. Ia tewas setelah ditembak delapan peluru saat berkendara. Usai tewas, ditemukan surat dalam kendaraan Breach.
Pesannya: karena bicara terlalu lantang.
Sejak tahun 2000 sampai 2021, tercatat sedikitnya 150 kasus pembunuhan wartawan terjadi di Meksiko. Catatan hitam itu menunjukkan aksi pembunuhan wartawan terus berlanjut. Meksiko menjadi negara terbesar dalam kasus pembunuhan terhadap jurnalis.
Para wartawan di sana kerap menjadi sasaran aksi kekerasan kartel narkoba Meksiko, yang berusaha mengintimidasi dan memanipulasi liputan soal aktivitas dan saingan mereka. Bahkan impunitas dalam pembunuhan itu mencakup lebih 90% kasus.
Teror Digital
Namun, kekerasan terhadap jurnalis tidak selalu berbentuk pembunuhan. Di medan perang, ratusan jurnalis tewas. Tapi kini ada metode yang lebih modern dan lebih digital. Doxxing, peretasan, dan serangan bot di media sosial sudah jadi makanan sehari-hari wartawan.
Jurnalis perempuan bahkan lebih sering menjadi sasaran: 73% dari mereka mengalami kekerasan online, mulai ancaman pemerkosaan hingga fitnah yang lebih kreatif daripada sinetron Indonesia. Jangan lupa, mereka yang bertahan dari serangan digital sering kali menghadapi teror nyata di dunia fisik.
Para penjahat dan oknum pejabat memang sangat takut pada sebuah pena: yang tajam.
Penulis Inggris Edward Bulwer Lytton, dalam dramanya, Richelieu; Or, The Conspiracy, tahun 1839, pernah menulis. The pen is mightier than the sword. Begitu, kata Edward Bulwer Lytton.
Pena lebih tajam dari pedang. Inilah yang membuat para penjahat takut, penjahat yang hobinya merampok uang negara.
Ketajaman pena Tempo sampai mendatangkan kepala babi dan bangkai tikus. Luar biasa, seperti kisah dalam film-film mafia.
Rudi, penikmat kopi hitam
BACA JUGA