Kenapa Awal Ramadhan Sering Berbeda?

SMARTRT.NEWS – Setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, Pemerintah akan melakukan sidang Isbat. Sidang ini untuk menentukan awal puasa atau 1 Ramadhan. Tapi, sidang ini tidak dilakukan Muhammadiyah.
Untuk menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri, Muhammadiyah menggunakan metode tersendiri. Yang kadang, hasilnya berbeda dengan hasil sidang Isbat ala pemerintah.
Kenapa berbeda? Bagaimana sejarah sidang Isbat?
Perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia, telah terjadi berulang-ulang, tidak hanya di era sekarang. Perbedaan Idul Fitri, bahkan sudah ada sejak zaman Sahabat Nabi.
Ketika itu, waktu pelaksanaan Idul Fitri antara di Syam, saat ini Suriah dan sekitarnya, berbeda dengan di Madinah. Padahal jarak antar keduanya dekat. Kenapa? Karena penampakan hilalnya beda.
Kisah perbedaan itu termaktub dalam nubuah. Yang telah disinggung para Imam, berabad-abad silam. Dari perawi Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Daruquthni, Imam Baihaqy, sampai Imam Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270).
Metode Penetapan
Penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, menggunakan dua metode. Yakni, hisab dan rukyatul hilal.
Mengacu artinya, hisab adalah perhitungan. Dalam keilmuan Islam, istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak atau astronomi, untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat.
Sedangkan metode rukyatul hilal kriteria penentuan awal bulan atau kalender Hijriyah dengan merukyat alias mengamati hilal secara langsung. Jika hilal atau bulan sabit tidak terlihat, maka bulan kalender berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Penggenapan ini dinamai istikmal.
Kedua metode ini sangat penting menentukan awal Ramadhan sebagai patokan awal berpuasa. Sekaligus menentukan awal Syawal atau lebaran Idul Fitri, dan awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah, dan Idul Adha pada 10 Dzulhijjah.
Hisab itu ilmu Qur’an, begitupun rukyatul hilal. Hisab dan rukyatul hilal ilmu satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan. Nah, kenapa dalam menetapkan awal Ramadhan, hasilnya kerap berbeda? Terutama antara Pemerintah dan Muhammadiyah.
Perbedaan itu Anugerah
Perbedaan ini menarik. Menjadi rahmat, anugerah indah. Menambah gizi bagi khazanah keilmuan Islam. Perbedaan hanya pada metodenya. Tapi, hasil keduanya sama-sama benar. Baik yang hisab maupun rukyatul hilal.
Sejak beberapa tahun silam, Indonesia mengikuti acuan kepsepakatan MABIMS. Yakni kesepakatan hasil Musyamawarah Menteri Agama Brunei, Malaysia dan Indonesia.
Acuan MABIMS tinggi bulan minimal berada 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat. Ketinggian hilal ini sesuai kriteria imkan rukyat. Bagian dari metode hisab hakiki: perhitungan astronomis terhadap posisi bulan di sore hari, sesuai konjungsi.
Kita tarik ke belakang d tahun 2022. Saat itu hasil laporan yang diterima Kemenag di 101 lokasi pantauan menunjukkan, ketinggian hilal di seluruh Indonesia ada di posisi 1 derajat 6,78 menit sampai 2 derajat 10.02 menit berdasarkan hisab. Artinya, hilal terlalu rendah dan sulit mengalahkan cahaya syafaq.
Jadi akhirnya disepakati: hilal di Indonesia dinilai rendah dan tidak mungkin terlihat. Maka diputuskan lah istikmal. Jika hilal atau bulan sabit tidak terlihat, bulan kalender berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari. Penggenapan ini dinamai istikmal. Yang artinya saat pemantauan hilal pada tanggal 1, masih dihitung hari ke-29 bulan Sya’ban- sebelum Ramadhan.
Lantas bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari atau tanggal 2 April 2022. Dengan istikmal tadi, maka awal Ramadhan baru masuk pada tanggal 3 April 2022. Sebab, hilalnya tidak terlihat. Andai pun terlihat, batas ketinggiannya belum sampai 3 derajat.
Sebagai pembanding, di Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di Turki malah 6 derajat. Lebih tinggi lagi di komunitas Muslim Amerika, minimal 15 derajat. Kriteria ini bersandar pada kesepakatan atau ijtimak hasil ijtihad Ulama, bukan alasan astronomis.
Supaya lebih jelas, pada penentuan awal Ramadhan, diterapkan kriteria imkan rukyat versi MABIMS, tadi. Yaitu, mengacu hasil kesepakatan dari Musyawarah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Kesepakatannya: tinggi hilal 3 derajat dan elongasi bulan 6,4 derajat. Sebelumnya, hanya 2 derajat.
Kesepakatan MABIMS
Pertanyaannya kemudian, kenapa di Yaman, Palestina, Saudi hila bisa terlihat?! Mungkin beda cuaca saat pengamatan. Seperti penjelasan Observatorium Astronomi di Universitas Al-Majma’ah: udara di sana 90% cerah. Jadi, hilalnya bisa terlihat. Mungkin karena di Indonesia mendung, jadi tidak terlihat. Di tiap wilayah, kondisi hilal bisa beda-beda. Andaipun tampak, belum sampai standarnya.
Bisa juga karena standar derajat yang berbeda tadi. Semisal Indonesia 2 derajat, tapi Indonesia ikut kesepakatan MABIMS jadi 3 derajat.
Sedangkan Muhammadiyah, menggunakan hisab hakiki wujudul hilal, yang sifatnya masih zonal. Belum global. Maksudnya hanya bisa ditetapkan di Indonesia, tidak untuk Muslim di tempat lain. Untuk standar derajatnya, lebih kecil lagi: 0,5. Ini yang menjadi letak perbedaan dengan NU, MUI dan pemerintah.
Seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Jika posisi bulan sudah di atas ufuk waktu matahari terbenam, maka esoknya dianggap sudah masuk hari pertama bulan baru.
Karena itu kedua metode ini: hisab dan rukyat, tidak bisa dipisahkan. Sebab, saling melengkapi. Kenapa di Indonesia beda? Karena beda metode penetapan dan standar derajatnya. Hanya itu.
Keduanya sama-sama benar, baik Muhammadiyah dan pemerintah benar. Kenapa masih ada yang bingung, karena mungkin standar derajatnya berubah. Dari 2 jadi 3. Standar baru Neo-MABIMS ini yang memang kurang sosialisasi. Di sini yang menjadi titik krusialnya.
Sebab ketika hasil pantauan hilal sudah 2 derajat, kenapa dianggap tidak melihat. Alasannya, naiknya standar sesuai MABIMS, yang sebelumnya 2 menjadi 3 derajat.
Sejarah Sidang Isbat
Setelah membahas alasan perbedaan penetapan awal Ramdhan dan Idul Fitri, kini kita bicara sejarah sidang Isbat. Sidang ini memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia.
Di Indonesia, penentuan awal puasa ditentukan melalui Sidang Isbat. Isbat dalam bahasa Arab berarti penetapan atau penentuan. Sidang ini dilakukan pemerintah melalui kementerian agama Republik Indonesia untuk menentukan awal bulan pada kalender Hijriah, khususnya 1 Ramadan. Sidang Isbat juga dilaksanakan untuk menentukan 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.
Sejak kapan Sidang Isbat dimulai?
Dihimpun dari pelbagai sumber, sidang Isbat pertama kali dihelat sekitar lima atau enam tahun usai Indonesia Merdeka. Persisnya di era tahun 50-an. Sebelumnya belum ada. Umat mengacu pada Ulama di masing-masing daerah. Di era 50-an, barulah sidang Isbat dilakukan meski dihelat sangat sederhana.
Musyawarah penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 9-10 Dzulhijjah itu didasari dalil-dalil serta fatwa Ulama yang menyatakan pemerintah boleh menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah. Atas dasar ini, akhirnya pemerintah di era Orde Baru berinisiatif menggelar sidang Isbat secara resmi, melalui Departemen Agama. Kini bernama Kementerian Agama.
Badan Hisab Rukyat
Dalam perjalanannya kemudian, pada tahun 1972, pemerintah membentuk tim khusus dari pelbagai kalangan untuk membawahi sebuah badan bernama BHR atau Badan Hisab Rukyat.
Badan ini terdiri dari para ahli Fiqih, Ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberi informasi, data kepada Menteri Agama terkait awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sidang Isbat pun hanya bersifat musyawarah. Penetapan yang menjadi hasil dalam sidang ini berasal dari kesepakatan masing-masing ormas Islam yang yang diwakili utusannya. Pemerintah hanya memfasilitasi, mengumpulkan para tokoh, para ulama untuk membahas awal bulan itu ditetapkan.
Setelah hasil musyawarahnya ditetapkan dalam satu kesepakatan hasil sidang, baru kemudian menteri agama akan mengumumkannya ke publik.
Jadi, hasil Isbat tidak sepenuhnya mengikat. Hasilnya, tetap diserahkan kepada masyarakat. Karena hasil Sidang Isbat itu tetap memungkinkan celah perbedaan dengan keyakinan masyarakat di suatu daerah atau kelompok tertentu.
Pemerintah hanya mengajak mengawali dan mengakhiri bulan Ramadan bersama-sama. Sedangkan perbedaan itu adalah Rahmat.
Selamat mempersiapkan diri menyambut Ramadhan 2025. Semoga kita semua dipertemukan lagi dengan bulan mulia ini. Aamiin. Shalaalahu alaa Muhammad.
Rudi, penikmat kopi hitam
BACA JUGA