Jadi Tempat Berbagi Konten Menyimpang, Grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ Diselidiki Polisi

internet
Ilustrasi kejahatan siber. Sebuah grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' terbongkar setelah membagikan konten menyimpang. (Foto: Freepik)

Smartrt.news, JAKARTA – Grup Facebook bernama Fantasi Sedarah baru-baru ini menjadi sorotan dan membuat heboh warganet karena jadi ruang berbagi konten menyimpang.

Dari sumber yang dihimpun Smartrt.news, ribuan orang secara aktif membagikan fantasi seksual melibatkan inses dan anak di bawah umur dalam grup ini.

Fantasi-fantasi tersebut, yang seharusnya dianggap menjijikkan dan melanggar hukum, justru diangkat sebagai bahan candaan dan pembicaraan santai. Saat ini, grup tersebut berubah nama dan anggotanya mencapai 32 ribu lebih.

Kasus ini pun ramai jadi pembahasan, baik di platform X dan Instagram. Merespons gaduhnya warganet di dunia maya, kepolisian segera bertindak. Aparat mengklaim sedang melakukan pendalaman dan penyelidikan.

“Kami akan melakukan pendalaman dan penyelidikan terhadap akun tersebut. Jika ada informasi lain yang perlu kami tindak lanjuti, silahkan hubungi kami melalui http://patrolisiber.id atau call center 110,” tulis akun resmi @DivHumas_Polri di X, Jumat (16/5).

Ruang Aman Anak Semakin Terkikis

Pakar psikologi anak dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, menyebut fenomena ini sebagai tamparan keras bagi kesadaran kolektif. Ia mengingatkan bahwa ruang aman bagi anak-anak semakin terkikis.

Bahkan, tempat yang selama ini diyakini paling suci dan aman—rumah dan keluarga—tak lagi bisa menjamin perlindungan yang utuh. “Orang tua dan pendidik perlu menyadari satu hal yang teramat krusial, bahwa ruang aman anak-anak semakin terkikis, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi paling suci dan aman,” ujar Holy, Jumat dikutip dari laman resmi UM Surabaya.

Holy bilang, dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak, pelaku justru adalah orang-orang yang dikenal dan dipercaya: ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga. Ketakutan, tekanan, dan rasa malu membuat anak-anak bungkam. Mereka membawa trauma itu sendirian, tanpa tahu kepada siapa harus bercerita.

Holy menyebut hal ini sebagai kondisi darurat, yang tak bisa lagi ditanggulangi hanya dengan slogan atau imbauan moral belaka. “Kita terlalu lama bungkam, predator itu leluasa mencari celah. Kita tak bisa lagi menunda edukasi seksual sejak dini,” tegasnya.

Sayangnya, edukasi seksual masih dianggap tabu. Banyak orang tua merasa takut, malu, atau menolak membicarakannya dengan anak-anak. Padahal, menurut Holy, pendidikan seksual anak sejak dini bukanlah membahas hubungan biologis semata, melainkan pemahaman tubuh, batasan diri, privasi, serta kemampuan mengenali dan menolak sentuhan yang tidak pantas. Anak-anak perlu tahu bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka berhak mengatakan tidak—bahkan kepada orang dewasa yang mereka kenal.

“Ketidaktahuan justru membuat anak menjadi rentan,” ujar Holy. Ia mendorong orang tua untuk membuka ruang percakapan yang aman. Tak cukup hanya menjadi penyedia sandang dan pangan, orang tua hari ini juga harus menjadi pendengar yang tidak menghakimi. Anak harus merasa nyaman bercerita, tanpa takut dimarahi atau dianggap berlebihan.***

(Tim Smartrt.news/anang/sumber: berbagai sumber)