IKN Tak Lagi Jadi Magnet, Balikpapan Menanggung Efek Sampingnya

Ibu kota Nusantara (IKN) (Foto : Dok IKN)
SmartNews, BALIKPAPAN — Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur (altim) pada 2019, euforia publik Kaltim langsung meledak. Dua kabupaten, Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar), ditetapkan menjadi lokasi baru pusat pemerintahan Indonesia.
Harapan pun tinggi. Banyak yang meyakini langkah itu akan mengubah wajah ekonomi Kalimantan, dan Balikpapan — dengan bandara internasional, pelabuhan modern, dan infrastruktur bisnis yang mapan — akan menjadi “beranda IKN” yang paling diuntungkan.
Pemerintah kemudian menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) — yang dijanjikan sebagai kota masa depan: modern, hijau, berteknologi tinggi, dan ramah manusia. Pembangunan dimulai, investor berdatangan, hotel-hotel di Balikpapan mulai penuh, harga hunian melonjak, dan berbagai event nasional memilih kota ini sebagai tuan rumah.
Optimisme melambung tinggi. Banyak yang percaya Balikpapan akan segera banjir tamu — dari kontraktor, pejabat, investor, hingga wisatawan bisnis. Namun, lima tahun kemudian, narasi besar itu mulai kehilangan daya magisnya.
Arah Politik Berubah, IKN Kehilangan Nafas
Setelah pemerintahan berganti pada 2024, arah kebijakan berubah. Presiden Prabowo Subianto menegaskan prioritas pembangunan nasional akan difokuskan pada stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan. IKN tidak lagi menjadi proyek percepatan utama.
Puncaknya, lahirlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025, yang secara eksplisit menyebutkan IKN baru akan difungsikan sebagai Ibu Kota politik pada 2028.
Bagi Balikpapan, keputusan ini seperti menarik rem mendadak di tengah kecepatan tinggi. Proyek-proyek yang sebelumnya mendongkrak ekonomi mulai melambat. Arus tamu dari Jakarta menurun. Agenda kementerian dan korporasi yang dulu rutin digelar di Balikpapan kini banyak berpindah ke kota lain atau kembali ke Jakarta.
Okupansi Turun Dratis, Ekonomi Kota Melambat
Dampaknya terasa nyata. Okupansi hotel di Balikpapan kini hanya sekitar 30 persen — angka yang mengkhawatirkan bagi sektor jasa yang pernah menjadi andalan utama kota ini.
Lobi-lobi hotel yang dulu riuh dengan tamu kini tampak lengang. Ruang pertemuan besar yang biasa dipenuhi seminar dan pelatihan kini banyak menganggur. Para pengusaha hotel harus berpikir keras agar bisnis tidak gulung tikar.
Efek Domino ke Ekonomi Lokal
Namun lesunya industri hotel tidak berhenti di sektor jasa akomodasi saja. Dampaknya berantai ke seluruh lapisan ekonomi kota.
Hotel adalah simpul dari rantai pasok besar — mulai dari katering, laundry, transportasi, hingga pekerja lepas seperti pemandu wisata dan sopir. Ketika tingkat hunian merosot, semua sektor itu ikut terpukul.
Para pemasok bahan makanan kehilangan pelanggan, pengemudi ojek daring kehilangan penumpang, dan warung kecil di sekitar kawasan bisnis kehilangan pembeli.
Dengan kata lain, penurunan okupansi hotel adalah cermin melambatnya sirkulasi ekonomi Balikpapan. Kota yang dulunya hidup dari rapat, proyek, dan kunjungan bisnis kini harus beradaptasi dengan realitas baru.
IKN Tak Menetes ke Balikpapan
Meski proyek IKN terus berjalan di kawasan inti, efek ekonomi langsung ke Balikpapan masih minim. Mobilitas pekerja, teknisi, dan logistik banyak terpusat di area proyek di Sepaku, bukan di kota ini.
Balikpapan memang menjadi pintu gerbang utama, tetapi belum menjadi simpul aktivitas ekonomi. Banyak tenaga kerja proyek memilih tinggal di basecamp dekat IKN untuk efisiensi biaya dan waktu.
Sementara itu, kebijakan efisiensi perjalanan dinas dan rapat daring pascapandemi membuat permintaan ruang konvensi terus menyusut. Hotel-hotel yang dulu hidup dari kegiatan korporasi kini harus mencari model bisnis baru — sebagian beralih ke layanan jangka panjang, sewa ruangan kerja, atau penginapan pekerja proyek.
Kota Minyak dalam Masa Transisi
Kondisi ini memperlihatkan persoalan yang lebih mendasar: Balikpapan sedang mengalami pergeseran struktur ekonomi. Selama puluhan tahun, kota ini bergantung pada industri minyak dan gas.
Ketika aktivitas eksplorasi menurun dan perusahaan migas banyak melakukan efisiensi, sektor jasa diharapkan menjadi pengganti. Namun, transisi itu ternyata tidak mudah.
Tanpa stimulus ekonomi baru, sektor jasa seperti hotel dan restoran sulit berkembang. IKN seharusnya menjadi katalis, tetapi hingga kini justru menciptakan ketimpangan baru: pusat pertumbuhan di kawasan proyek, sementara kota pendukung masih menunggu limpahan manfaat.