Hukum Mati Pembunuh Wartawan

Di tengah kisruh penolakan UU TNI, kita dikejutkan dengan berita tewasnya wartawan perempuan di Banjarmasin. Yang lebih mengejutkan, terduga pembunuhnya seorang tentara aktif. Hukum mati selaiknya patut dijatuhkan.
Terduga pembunuh itu, oknum TNI AL berpangkat Kelasi Satu bernama: Jumran.
Fakta terbaru yang terungkap dari hasil autopsi, tak kalah mengejutkan. Dalam rahim korban ada cairan putih, yang diduga sperma. Bahkan cairannya banyak sekali.
Kuasa hukum keluarga korban menduga, Juwita, wartawan perempuan itu menjadi korban pemerkosaan sebelum tewas.
Keluarga juga menduga pelaku dugaan perkosaan lebih dari satu orang. Karena itu mereka meminta tes DNA di Surabaya atau Jakarta untuk mengetahui pemilik cairan putih, itu. Sebab, laboratorium forensik terkait belum ada di Banjarmasin.
Tapi bisa tidaknya test DNA, menjadi ranah dari penyidik. Pihak keluarga berharap adanya keadilan untuk kasus dugaan perkosaan berujung pembunuhan, ini.
Kasus pembunahan wartawan tentu saja menjadi preseden buruk bagi kebebasan Pers di Indonesia. Apapun motif pembunuhan itu. Entah berlatar asmara atau karena pemberitaan, tetap saja tindak pidana itu sangat mengerikan.
Apalagi terjadi di bulan Suci Ramadhan. Bahkan terduga pelakunya tentara, yang masih aktif dalam kedinasan. J, terduga pelaku, aktif bertugas di Balikpapan selama setahun belakangan. Ia telah menjadi tentara angkatan laut sekitar empat tahun.
Artinya, terduga pelaku masih terhitung baru menjadi tentara Indonesia. Karena itu, perilakunya sangat mencoreng nama baik TNI, yang selalu lekat dekat dengan masyarakat.
Pertaruhan Citra TNI
Kasus ini menjadi pertaruhan bagi citra TNI, di tengah menurunnya kepercayaan publik atas UU TNI. Pihak terkait harus merespons cepat untuk mengembalikan trust masyarakat.
Salah satunya bisa dengan memberi hukum yang tegas terhadap terduga pelaku. Maka, hukuman mati sangat pantas untuk vonis kasus dugaan perkosaan dan pembunuhan wartawan, ini.
Apalagi kasus ini menjadi sorotan publik. Bukan saja jadi perhatian insan media. Tapi juga bagi kalangan luas. Publik juga menyesalkan kasus ini tidak masuk ke persidangan sipil. Melainkan persidangan militer.
Hal ini akan menjadi catatan tambahan daftar trust issue publik terhadap citra TNI. Sebab, dalam kasus ini sangat jelas masuk ranah pidana atas kejahatan terhadap warga sipil. Tapi kenapa persidangannya harus melalui sidang militer.
Penuntasan dalam persidangan militer seperti kasus sebelumnya yang pernah menimpa anggota TNI, telah menyisakan citra buruk. Seperti kasus korupsi di Badan SAR Nasional pada tahun 2023.
Saat itu, KPK telah menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan bawahannya yang juga personel TNI, sebagai tersangka. Tetapi pusat Polisi Militer TNI memprotes langkah itu karena mereka menilai Henri dan bawahannya harus diadili secara militer.
Belakangan, sudah terbit putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PU-XXI/2023 yang menyatakan KPK bisa mengusut kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI. Mudah-mudahan kasus dugaan pembunuhan terhadap wartawan ini, juga bisa menyeret terduga pelaku ke persidangan sipil. Lalu, dijatuhi hukuman mati.
Rudi, penikmat kopi hitam
BACA JUGA