Gunung Bahagia: Kampung di Balikpapan yang Ubah Sampah Jadi Harapan dan Penghasilan

ibu-ibu di Gn Bahagia Balikpapan Selatan
Ibu-ibu di Gn Bahagia, Balikpapan Selatan bangga memilah sampah.

Smartrt.news, BALIKPAPAN — Matahari pagi baru naik ketika roda gerobak pelan-pelan menyusuri gang sempit di Kelurahan Gunung Bahagia. Suara besi beradu, disusul tawa kecil dari seorang ibu rumah tangga yang sedang memilah botol plastik di depan rumahnya. Bukan sekadar rutinitas pagi, ini adalah bagian dari gerakan yang diam-diam mengubah wajah kampung.

Di Gunung Bahagia, sampah bukan lagi musuh. Ia telah disulap menjadi peluang — ekonomi, edukasi, bahkan persatuan warga.

Dari Ketidakpercayaan Menuju Kesadaran Warga

Tak semua berjalan mulus sejak awal. Edy Sutisno, Ketua RT 28 Gunung Bahagia, masih ingat betul masa-masa sulit menyosialisasikan program pemilahan sampah.

“Dulu warga bertanya, buat apa dipilah? Toh akhirnya dicampur juga,” kenangnya sambil tersenyum.

Tapi ketekunan mengalahkan keraguan. Edukasi dari rumah ke rumah, forum posyandu, hingga pengajian dimanfaatkan untuk membangun kesadaran. Kini, pemandangan warga antre menyetorkan sampah sudah menjadi hal biasa. Bahkan, yang kesiangan tak segan mendorong sendiri karungnya ke titik pengumpulan.

Material Recovery Facility: Jantung Ekonomi dari Limbah

Di pusat pengolahan MRF Gunung Bahagia, botol plastik, kardus, hingga logam dipilah rapi. Rata-rata, 4 ton sampah kering diterima setiap hari. Angka ini tak main-main: bisa menghasilkan pendapatan Rp250–300 juta per bulan.

“Hasil penjualan bisa sampai Rp10 juta sebulan. Semuanya tercatat. Transparan,” ujar Rasman, supervisor yang sudah sembilan tahun mendampingi program ini.

Pendapatan tersebut bukan hanya menyumbang kas daerah, tetapi juga menunjukkan bahwa sampah bisa menjadi sumber ekonomi yang sah dan berkelanjutan.

Dampak Sosial: Dari Sampah Menjadi Sekolah Kehidupan

Di RT 45, Endang Winarni tersenyum melihat perubahan. Anak-anak mulai paham mana sampah organik dan mana yang tidak.

“Sekarang mereka belajar sejak kecil. Tak hanya bersih, tapi juga tumbuh sadar lingkungan,” katanya.

Hal serupa dirasakan Idrus Rachman dari RT 34. Suasana yang dulu panas karena urusan sampah, kini berubah jadi solidaritas. Dari debat jadi kolaborasi.

“Sekarang kalau ketemu, bicaranya bukan marah-marah, tapi tanya: ‘Plastiknya udah dikumpulin belum?’” ujarnya sambil tertawa.

Tantangan Masih Ada, Tapi Semangat Tak Redup

Mesin pemilah yang menua dan distribusi kerja yang belum merata masih jadi tantangan. Tapi menurut Rasman, semua itu bisa diatasi dengan kemauan dan dukungan pemerintah.

“Jepang mulai 50 tahun lalu. Kita baru sembilan tahun, tapi saya percaya bisa lebih hebat,” tegasnya penuh semangat.

Gunung Bahagia: Simbol Perubahan dari Akar Rumput

Kini, pengelolaan sampah bukan lagi tugas pemerintah semata. Ini sudah menjadi gerakan warga, budaya baru yang lahir dari kesadaran kolektif.

“Kami ingin dikenal bukan hanya karena bersih, tapi karena peduli. Sampah itu soal pilihan. Mau jadi beban, atau jadi berkah,” tutup Edy.

Dan dari setiap kardus yang disusun rapi, dari setiap botol yang dikumpulkan dengan penuh niat, warga Gunung Bahagia sedang membangun bukan sekadar lingkungan — tapi masa depan kota yang lebih mandiri, sehat, dan berdaya.

(Tim Smartrt.news, anang/sumber: RT 28 Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan)

Tinggalkan Komentar