Category Ad 1

Gugatan UU Tipikor Bergulir di MK, Ahli Sebut Pedagang Pecel Lele Bisa Dianggap Koruptor Jika Tak Direvisi

Oleh kontributor achmad pada 18 Jun 2025, 20:27 WIB
ahli tipikor

Ahli dalam sidang UU Tipikor.

Smartrt.news, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, pada Rabu, 18 Juni 2025. Perkara ini teregistrasi dengan Nomor 142/PUU-XXII/2024, dan permohonan uji materi telah diajukan sejak 3 Oktober 2024.

Permohonan ini diajukan oleh tiga orang pemohon, yakni Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia/Perindo), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Kukuh Kertasafari (mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron).

Ketiganya menggugat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena dianggap multitafsir dan berpotensi menjerat siapa saja, termasuk warga sipil tanpa jabatan.

Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan dari DPR, serta menghadirkan ahli dan saksi dari pihak pemohon.

Pasal Terlalu Luas Makna

Salah satu ahli yang dihadirkan adalah Chandra M. Hamzah, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2009.

Dalam keterangannya, Chandra menyoroti bahwa rumusan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 terlalu luas dan bisa diterapkan secara sembarangan. Ia mencontohkan bahwa penjual pecel lele di trotoar pun bisa dianggap melakukan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.

“Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, mengutip dari laman resmi mkri.id

Ia juga mengkritik penggunaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 3, yang menurutnya justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, karena menyasar terlalu luas tanpa memperjelas posisi atau kekuasaan pelakunya.

“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” jelasnya.

Korupsi Terbanyak Suap

Sementara itu, Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003–2007 yang juga dihadirkan sebagai ahli, menyampaikan bahwa korupsi yang paling sering terjadi di lapangan adalah suap. Namun, aparat penegak hukum justru lebih fokus menangani kasus yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.

“Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap, korupsi yang ditulis di Undang-Undang yang berlaku Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap tapi yang dikejar-kejar merugikan keuangan negara,” kata Amien.***

(Tim smartrt.news/anang/sumber: MK)