Gaza, Biden dan Trump

Warga Gaza menyambut gembira gencatan senjata. (AFP)

GENOSIDA di Gaza Palestina, yang berlangsung lebih dari 15 bulan atau sekitar 460 hari, akhirnya berakhir. Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata yang mulai berlaku sejak Minggu, (19/1/2025). Kesepakatan itu melewati tarik ulur yang begitu alot.

Bahkan, memantik penolakan keras dari dua menteri radikal Israel.

Mereka itu, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar BenGvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Kedua menteri tersebut berkoalisi membentuk pemerintahan sayap kanan radikal Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Mereka menuding kesepakatan sangat buruk dan membahayakan keamanan nasional Israel. Bahkan kedua menteri radikal Zionis itu pernah menegaskan tidak ada yang namanya Hamas dan Palestina. Mereka ingin Israel mencaplok Tepi Barat dan Jalur Gaza dan segera membangun permukiman Yahudi.

Media Israel Al-Quds Al-Arabi, menganalisa Operasi Badai Al Aqsa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023 sebagai ‘peluang’ untuk Netanyahu meluluh lantakan Gaza dan Tepi Barat.

Berdalih membahayakan keamanan Israel, Netanyahu seakan mendapat angin segar melakukan perluasan permukiman Yahudi di Gaza dan Tepi Barat untuk mendirikan Israel Raya. Ia bisa dianggap sebagai sosok penting dalam sejarah Israel.

Selama ini Netanyahu bahkan berani menolak mentah-mentah perintah Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk melakukan gencatan senjata. Pelbagai upaya dan intervensi dilakukan selama delapan bulan. Tapi PM Netanyahu tetap saja meneruskan genosida terpanjang dalam sejarah konflik Israel-Palestina.

Selama genosida berlangsung sudah lebih dari 46.000 orang tewas dalam perang Gaza, menurut pejabat kesehatan Palestina. Adapun populasi sebelum genosida sekitar 2,3 juta jiwa.

Sebuah studi yang diterbitkan pada Kamis (19/1/2025), menemukan fakta mencengangkan bahwa jumlah korban tewas resmi Palestina sekitar 1,5 juta dalam sembilan bulan pertama konflik. Musabab utamanya karena hancurnya infrastruktur medis Gaza.

Analisis statistik yang diterbitkan dalam The Lancet dilakukan para ilmuwan dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Universitas Yale, dan lembaga lainnya.

Para periset itu menggunakan metode statistik untuk memperkirakan jumlah kematian akibat operasi udara dan darat Israel di Gaza sejak Oktober 2023. Mereka memperkirakan jumlah kematian akibat cedera traumatis selama periode ini 64.260 jiwa, sekitar 41 persen lebih tinggi dari angka resmi Kementerian Kesehatan Palestina.

Studi itu menemukan sekitar 59,1 persen kematian terjadi pada wanita, anak-anak, dan orang berusia 65 tahun atau lebih. Tapi investigasi itu tidak menghitung berapa banyak pejuang Palestina yang tewas.

Dengan besarnya jumlah korban jiwa dan kerusakan total infrastruktur di Gaza, Netanyahu tetap saja enggan melakukan gencatan senjata.

Netanyahu selalu menolak gencatan senjata meski pelbagai tekanan diterimanya, termasuk tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara-negara besar seperti China dan Rusia, Uni Eropa, bahkan intervensi Presiden Amerika Joe Biden juga dimentahkan. Netanyahu tetap melakukan serangan militer.

Ancaman Donald Trump

Namun, setelah Donald Trump menjadi presiden AS terpilih, ia melontarkan ancaman terhadap Netanyahu.  Trump mengancam gencatan senjata di Gaza sudah harus terwujud sebelum ia dilantik jadi Presiden AS pada 20 Januari 2025.

Ia menegaskan pihak-pihak yang menghalangi gencatan senjata bakal ‘dibabat’ habis.

Paska ancaman Trump itu, akhirnya penjanjian gencatan senjata Israel-Hamas, seperti diumumkan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdul Rahman Al Thani di Doha pada Rabu lalu, berhasil terwujud.

Mediator perundingan dilakukan pihak Amerika, Qatar dan Mesir. Gencatan senjata pun mulai diterapkan pada Minggu (19/1/2025), bertepatan sehari jelang pelantikan Donald Trump.

Ambisi Netanyahu untuk mendirikan Israel Raya, buyar seketika. Ancaman Trump membawa angin perubahan geopolitik yang berlawanan dengan kehendak Netanyahu.

Donald Trump pun menyindir Biden, yang dianggap tak mampu merealisasikan perdamaian di Timur Tengah. Menurut Trump, Biden dianggap gagal membebaskan para sandera, sampai pihaknya melakukan intervensi dan dengan cepat mengubah arah negosiasi.

Meski belum dilantik, Trump telah menunjuk Steve Witkoff sebagai utusannya untuk urusan Timur Tengah. Witkoff selama perjanjian di Doha terus aktif sebagai negosiator hingga akhirnya gencatan senjata terwujud.

Mengutip artikel Stanley yang dilansir media massa Inggris The Telegraph, ia menilai, era baru Trump telah dimulai dengan keberhasilan politik yang cemerlang, melalui tercapainya gencatan senjata di Gaza.

Stanley berpendapat, gencatan senjata yang berlaku sehari sebelum Trump dilantik menjadi Presiden AS, dinilai sebagai langkah keberhasilan besar dalam mengubah peta geopolitik global. Langkah itu belum pernah dicapai para pendahulu Trump, termasuk Joe Biden.

Trump dinilai berhasil memberi tekanan besar hingga memaksa PM Israel Benjamin Netanyahu setuju dengan gencatan senjata. Tetapi, apakah gencatan senjata ini bisa berlaku permanen? Tak ada yang tahu. Hanya waktu yang mampu menjawabnya.

Rudi, penikmat kopi hitam.