Dari Pegunungan Papua ke Kota Minyak: Cerita Noken, Kopi, dan Mama-Mama di Balikpapan

Oleh kontributor Sudarman pada 11 Jul 2025, 12:30 WIB
Papua pegunungan

Tampak di Stan Tim Penggerak PKK Papua Pegunungan seorang sedang melukis pada tubuh wanita Papua.

Smartrt.news, BALIKPAPAN — Aroma kopi Arabika yang khas dan warna-warni benang rajut memenuhi udara stan Papua Pegunungan pagi itu. Di tengah riuhnya Pameran HUT ke-45 Dekranas di BSCC Dome, Balikpapan, sebuah sudut kecil memancarkan daya tarik berbeda—bukan hanya karena produk yang dipamerkan, tapi karena cerita dan budaya yang menyertainya.

Di antara noken-noken yang digantung dan deretan botol buah merah, tampak sosok Indrawati, anggota Tim Penggerak PKK Papua Pegunungan. Dengan senyum ramah, ia menyapa setiap pengunjung yang penasaran, menjelaskan asal-usul dan makna di balik karya-karya yang mereka bawa jauh dari timur Indonesia.

“Semua ini hasil karya tangan mama-mama di kampung. Kami bawa dari tanah tinggi, pakai bahan dari hutan—kulit kayu, pakis, bunga-bunga liar. Semuanya alami, semuanya punya cerita,” ucapnya dengan bangga.

Di Balik Rajutan, Ada Kehidupan

Di atas meja, noken aneka ukuran dan warna tersusun rapi. Ada yang kecil seperti dompet, ada pula yang besar dan kuat, cukup untuk menggendong hasil panen. Tapi bagi Elmina Wenda, seorang pengrajin sekaligus pembina mama-mama noken, benda itu bukan sekadar tas.

“Noken itu hidup kami,” katanya perlahan. “Anak-anak kami dibawa dalam noken sejak bayi. Kami bawa makanan, hasil kebun, bahkan harapan, semua di dalam noken. Itu bukan sekadar kerajinan, itu jantung perempuan Papua.”

Untuk membuat satu noken, prosesnya panjang dan melelahkan. Kulit kayu harus diambil dari hutan, direndam, dihancurkan, dipintal jadi benang, baru kemudian dirajut. Semua dikerjakan dengan tangan. Tak ada mesin, tak ada pabrik. Hanya kesabaran, keterampilan, dan cinta.

Lebih dari Sekadar Produk

tim pkk papua pegunungan

Tampak di Stan Tim Penggerak PKK Papua Pegunungan seorang wanita sedang merajut noken.

Tak hanya noken, stan Papua Pegunungan juga menyuguhkan produk lain yang tak kalah menarik kopi Arabika dari ketinggian pegunungan, buah merah yang kaya manfaat, serta madu hutan yang diambil langsung dari alam.

“Kemarin paling banyak dibeli itu buah merah dan kopi,” ujar Indrawati. “Tapi cincin, bros, dan anting-anting rajutan juga banyak yang suka. Kami jual murah, bukan karena tidak berharga, tapi karena kami ingin orang mengenal dulu.”

Harga produk di stan ini memang terbilang ramah. Cincin dijual mulai Rp10 ribu, sementara noken besar atau pakaian rajutan bisa mencapai jutaan rupiah tergantung tingkat kesulitannya. Namun, bukan keuntungan yang mereka cari melainkan pengakuan dan perhatian.

“Kami tidak naikkan harga. Misi kami bukan jualan semata, tapi memperkenalkan budaya. Biar masyarakat tahu, ini lho, karya perempuan Papua,” imbuhnya.

Harapan dari Tanah Tinggi

Tampak di Stan Tim Penggerak PKK Papua Pegunungan seorang wanita sedang merajut noken.

Di sela-sela kesibukan melayani pengunjung, Elmina sesekali melirik noken yang dipajang. Ada rasa bangga, juga haru. Bagi perempuan-perempuan gunung sepertinya, bisa membawa hasil tangan mereka ke panggung nasional adalah pencapaian besar.

“Kami ingin anak-anak muda Papua juga bangga. Bukan hanya bangga pakai noken, tapi bisa melanjutkan. Biar budaya ini tidak hilang, tidak berhenti di kami,” katanya.

Dari kampung-kampung di pegunungan Papua, ke kota Balikpapan yang modern, noken dan kopi itu membawa lebih dari sekadar keindahan. Ia membawa pesan: bahwa di setiap simpul rajutan, di setiap tetes kopi dan buah merah, ada cerita tentang alam, perempuan, dan tanah air yang patut dijaga dan dicintai.***

(Tim Smartrt.news/anang/rama/sumber: Dekranas)