Brigade Pangan: Cara Cepat Cetak Sawah dan Raup Cuan Ala Petani Milenial

Oleh kontributor Sudarman pada 10 Mei 2025, 22:30 WIB
Abimayu

Abimayu, si petani milenial anggota brigade pangan ketika berfoto bersama Mentan. (Foto:smartrt.news/mentan.go.id)

Pagi itu, embun masih menggantung di ujung-ujung daun padi.
Kereta api Malabar melaju perlahan, membelah hamparan sawah di sisi kiri dan kanan jalur rel antara Malang hingga Yogyakarta. Matahari baru saja menampakkan wajahnya dari balik Gunung Semeru, menyinari lautan hijau kekuningan yang luas tak berujung. Di tengah bentangan itu, terlihat para petani mulai beraktivitas—ada yang mencangkul, ada yang menanam, ada pula yang tengah menyiangi galengan sawah. Pemandangan ini begitu indah, seperti lukisan hidup yang bergerak selaras dengan waktu.

Sesekali pikiran melayang ke sebuah lagu lama berjudul Panen Telah Datang karya Franky & Jane. Liriknya mengisahkan tentang kehidupan para petani:

“Keringat jatuh, kaki berlumpur. Mereka memetik terus, karena seribu padi yang kuning, menanti untuk disentuh.”

Namun, di balik panorama indah dan lagu yang menyentuh hati, apakah hidup petani benar-benar seindah yang terlihat?

Masalah Lama di Dunia Pertanian

sawah-semeru

Hamparan sawan yang menguning dengan latar belakang gunung Semeru, Jatim. (Foto:smartrt.news/anang)

Dari Jawa ke Kalimantan, cerita tentang pertanian ternyata menyimpan sisi yang lebih kompleks. Di Kalimantan Timur, tepatnya di daerah seperti Samboja, Tenggarong, hingga Babulu, hamparan sawah juga terbentang. Bahkan daerah seperti Babulu di Penajam Paser Utara dikenal sebagai lumbung padi Kaltim. Sejak 15 tahun silam, wilayah ini sudah menghasilkan surplus beras, dan bahkan dijual hingga ke luar provinsi.

Tapi cerita petani tidak hanya soal panen. Ada beban yang tak terlihat: harga pupuk yang melonjak, distribusi yang tidak merata, hingga ketergantungan pada tengkulak. Bahkan, ketika beras tidak diserap Bulog karena harga yang lebih rendah, petani terpaksa mencari pembeli dari luar daerah. Sementara itu, kontrak eksklusif dengan Bulog kerap membuat mereka merugi.

Lalu, bagaimana pertanian bisa bertahan dan kembali menguntungkan?

Petani Milenial dan Harapan Baru

Jawabannya datang dari generasi yang dulu enggan menyentuh cangkul: generasi milenial.

Adalah Abimayu, pemuda asal Babulu, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang menjadi bukti nyata bahwa pertanian kini tak lagi identik dengan kerja kasar dan hasil pas-pasan. Ia adalah bagian dari Brigade Pangan, program yang digagas oleh Kementerian Pertanian untuk menggaet generasi muda agar terjun ke sektor pangan.

Awalnya, Abimayu sama seperti banyak anak muda lain—tidak tertarik menjadi petani. Namun, setelah bergabung dalam program Petani Milenial pada 2023, semuanya berubah. Kini, ia bisa meraup pendapatan hingga Rp 24 juta per bulan dari lahan setengah hektar saja.

Teknologi + Petani = Pertanian Modern

Apa rahasianya?

Teknologi dan mekanisasi.
Dengan alsintan (alat dan mesin pertanian), proses tanam hingga panen bisa dilakukan jauh lebih cepat dan efisien. Misalnya, traktor yang dikelola oleh satu operator bisa menggarap lima hektare lahan dalam sehari, dengan bayaran jasa hingga Rp 4 juta per hari. Ini belum termasuk hasil panen dari lahan milik sendiri.

Abimayu juga tak lagi bergantung pada tengkulak. Hasil panennya kini langsung dijual ke Bulog, yang memberikan harga lebih stabil. Ini adalah salah satu strategi yang didorong pemerintah untuk memotong rantai tengkulak dan memberdayakan petani langsung.

Kunjungan Menteri dan Masa Depan Lumbung Padi Kaltim

Kunjungan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ke Babulu pada 9 Mei 2025 menjadi momentum penting. Bersama Gubernur Kaltim, beliau menegaskan komitmen mempertahankan lahan sawah dan mengajak generasi muda ikut ambil peran.

“Kita tidak makan kelapa sawit atau batu bara. Kita makan padi (nasi),” tegas Gubernur Kaltim dalam kunjungan ke sawah Gunung Intan.

Program Petani Milenial dan Brigade Pangan diharapkan menjadi solusi cepat untuk mencetak sawah baru, mengoptimalkan lahan tidur, dan mendorong pertumbuhan pertanian berbasis teknologi.

Ajakan dari Abimayu: “Jangan Malu Jadi Petani!”

Dengan semangat penuh, Abimayu menyerukan pesan untuk seluruh anak muda Indonesia:

“Jangan malu jadi petani. Bertani itu tidak kalah dengan profesi lain. Dari setengah hektar lahan saja, saya bisa dapat lebih dari Rp 20 juta. Bayangkan kalau semua anak muda mau bertani—Indonesia bisa swasembada beras tanpa harus impor!”

Solusi Cepat Swasembada Beras dan Masa Depan Petani Digital

Dengan pendekatan yang modern, dukungan alat, dan jalur distribusi yang adil, Brigade Pangan menjadi harapan baru untuk transformasi pertanian Indonesia. Ini bukan hanya soal bertani, tapi tentang masa depan: swasembada, ketahanan pangan, dan keberlanjutan.

Sistem kinerja Brigade Pangan merupakan strategi terintegrasi yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) RI untuk menciptakan ekosistem pertanian modern dan produktif, dengan menggandeng petani milenial sebagai motor penggeraknya. Fokus utamanya adalah pada percepatan cetak sawah baru, penggunaan teknologi pertanian (mekanisasi), serta peningkatan kesejahteraan petani melalui akses pasar yang lebih adil dan terbuka.

Berikut ini adalah gambaran sistem kinerja Brigade Pangan secara ringkas dan sistematis:

1. Rekrutmen dan Pelatihan Petani Milenial

  • Seleksi dan pendampingan petani muda yang memiliki semangat dan kemauan tinggi untuk bertani.
  • Diberikan pelatihan intensif di sekolah lapang (SL), termasuk soal teknis budidaya, manajemen usaha tani, pemanfaatan teknologi, dan pemasaran.
  • Fokus pada mindset shifting: dari bertani tradisional ke pertanian sebagai bisnis dan karier masa depan.

2. Pemetaan dan Pengelolaan Lahan

  • Identifikasi lahan tidur atau lahan suboptimal untuk dijadikan sawah baru.
  • Melibatkan brigade pangan dalam proses konversi lahan, perencanaan pola tanam, hingga pengolahan awal dengan alat berat.
  • Petani milenial dibekali kemampuan membaca potensi lahan dan menyusun rencana tanam berdasarkan musim dan kebutuhan pasar.

3. Penggunaan Mekanisasi Pertanian (Alsintan)

  • Brigade Pangan difasilitasi alsintan, seperti traktor, combine harvester, rice transplanter, dan drone pertanian.
  • Diterapkan sistem sharing economy: satu unit alsintan bisa digunakan oleh beberapa petani, dikelola seperti koperasi.
  • Operator alsintan bisa berpenghasilan sendiri, sekaligus menghemat waktu dan biaya produksi petani lainnya.

4. Pembiayaan dan Akses Permodalan

  • Didukung akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus pertanian.
  • Brigade Pangan difasilitasi untuk membentuk kelompok tani atau koperasi sehingga lebih kuat secara kelembagaan dan mendapatkan bantuan pemerintah lebih terarah.

5. Produksi, Pasca Panen, dan Distribusi

  • Brigade Pangan terlibat langsung dari proses tanam hingga panen dan distribusi.
  • Diberi pelatihan dalam manajemen hasil panen, penyimpanan, hingga pengemasan (packaging) jika diperlukan.
  • Sistem distribusi diarahkan langsung ke Bulog atau mitra distribusi resmi, menghindari tengkulak dan mafia pangan.

6. Monitoring dan Evaluasi Berbasis Data

  • Menggunakan teknologi digital dan aplikasi pertanian untuk pelaporan hasil tanam, luas lahan, produksi, dan penjualan.
  • Kementan atau dinas terkait melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja petani milenial dalam Brigade Pangan.

7. Dampak dan Keberlanjutan

  • Tujuan akhir sistem Brigade Pangan adalah menciptakan pertanian yang berkelanjutan, meningkatkan ketahanan pangan nasional, dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertanian.
  • Petani milenial tidak hanya menjadi pelaksana, tapi juga role model dan inspirator bagi generasi muda lain untuk bertani.

Singkatnya, sistem kerja Brigade Pangan seperti “startup pertanian” berbasis kolaborasi, teknologi, dan semangat wirausaha petani muda. Sistem ini dinamis, adaptif terhadap tantangan zaman, dan sangat menjanjikan jika dijalankan secara konsisten dan terintegrasi.***

(Tim Smartrt.news/anang/sumber: mentan.go.id)