Bisa Tapi Tak Mau: Amerika Serikat dan Peran Ganda dalam Konflik Israel-Iran

Ilustrasi ketegangan dalam perang Israel vs Iran, dan skenario pengentian perang oleh Amerika Serikat.(smartrt.news/AI)
Main Dua Kaki: Bagaimana AS Menekan Rem dan Gas Sekaligus
Presiden Amerika Serikat saat ini memilih strategi diam dan bertahan. Saat Israel secara terbuka meminta dukungan militer menyusul serangan rudal Iran, Gedung Putih hanya memberi satu jawaban: “tunggu dua minggu.”
Dalam diplomasi internasional, penundaan bukan sekadar lamban—itu adalah isyarat. Sementara publik dunia menanti kepastian, kapal induk dan armada militer AS bergerak menuju Teluk Persia. Inilah gaya klasik “coercive diplomacy”: menampilkan kekuatan tanpa mengumumkan niat.
Di satu sisi, AS berusaha menenangkan Israel dengan pengerahan sistem pertahanan dan dukungan logistik. Di sisi lain, penundaan jawaban resmi adalah ruang untuk menakar reaksi Iran dan membuka jalur diplomasi lewat mitra seperti Eropa dan Arab Saudi. AS tahu benar, jika jawabannya terlalu cepat dan terlalu keras, maka itu bisa meledakkan kawasan.
Siapa yang Bisa Hentikan Perang? Semua Mata ke Washington
Secara realistis, hanya sedikit negara yang punya daya tekan langsung ke Israel. Uni Eropa bisa menyuarakan keprihatinan, PBB bisa mengeluarkan resolusi, tapi hanya AS yang bisa menghentikan pelatuk di tangan Tel Aviv. Setiap tahunnya, AS menggelontorkan lebih dari USD 3,8 miliar bantuan militer ke Israel—ini bukan sekadar aliansi, tapi keterikatan strategis.
Namun AS juga tahu: tekanan terlalu keras ke Israel bisa berbenturan dengan politik domestik, terutama menjelang pemilu. Lobi pro-Israel tetap kuat di Washington, dan tidak semua warga Amerika mau negaranya kembali terjerat perang di Timur Tengah. Maka, pilihan Donald Trump adalah menjaga keseimbangan: menekan dengan diam, mendekap tanpa memeluk.
Seberapa Dekat Iran dengan Senjata Nuklir?
- Iran belum memiliki senjata nuklir secara resmi, tetapi punya kemampuan teknis untuk membuatnya dalam waktu singkat (disebut “breakout capacity”).
- Saat ini, Iran memiliki >120 kg uranium yang diperkaya hingga 60%, sangat dekat ke level senjata (90%). Hanya dibutuhkan sekitar 25 kg uranium level 90% untuk membuat 1 bom nuklir.
- Lokasi utama fasilitas nuklir Iran: Natanz, Fordow, Arak, dan Isfahan — sebagian dibangun di bawah tanah dan terlindungi dari serangan udara.
- Intelijen Barat dan IAEA memperkirakan Iran bisa memproduksi bahan baku untuk setidaknya 2–3 bom nuklir dalam hitungan minggu hingga bulan.
- Iran membantah ingin membuat senjata, namun dokumentasi rahasia (“Amad Plan”) menunjukkan pernah ada riset dan desain bom.
“Iran belum menekan tombol, tapi sudah dekat dengan saklarnya. Dunia tak yakin kapan—atau apakah—mereka akan benar-benar menyentuhnya.”
🗨️ Iran: “Kami tidak mencari senjata nuklir. Hal itu bertentangan dengan ajaran agama kami,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani (2023), merujuk pada fatwa Ayatollah Ali Khamenei yang menyebut penggunaan senjata nuklir sebagai haram.
🗨️ Israel: “Iran tidak boleh dibiarkan menjadi negara bersenjata nuklir. Kami siap bertindak, dengan atau tanpa dukungan internasional,” tegas Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pidato di Knesset (2024).
🗨️ Amerika Serikat: “Kami akan bertindak tegas terhadap setiap ancaman dari Iran. Amerika tidak akan ragu menggunakan kekuatan militer untuk melindungi kepentingannya dan sekutunya di Timur Tengah,” ujar Presiden Donald Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, Mei 2025.
Iran di Mata AS: Lawan yang Harus Ditekan, Tapi Tak Diundang Berperang
Bagi AS, Iran adalah ancaman strategis, tapi bukan musuh yang ingin dilawan langsung. Setelah bertahun-tahun menekan lewat sanksi dan retorika, AS enggan membuka babak baru konflik terbuka yang bisa merusak relasi dengan mitra Teluk, mengganggu suplai energi dunia, dan memecah konsentrasi geopolitik dari Eropa Timur ke Asia Timur.
Dengan mengerahkan kekuatan militer secara simbolik, AS kirim pesan: “kami tidak akan tinggal diam jika Iran melewati batas.” Tapi mereka tidak ingin memicu Iran bertindak lebih jauh. Karena itu, tekanan militer selalu dibarengi dengan celah diplomatik—seperti upaya reaktivasi JCPOA atau membuka jalur backchannel dengan Teheran.
Bisa, Tapi Tidak Mau
Amerika Serikat punya semua alat untuk menghentikan perang Israel vs Iran: kekuatan diplomatik, kendali atas Israel, dan pengaruh terhadap sekutu global. Tapi kehendak politik—itulah yang jadi penghalang utama. AS sedang bermain di antara dua ranjau: jika terlalu pasif, ia kehilangan kredibilitas. Jika terlalu agresif, dunia bisa terbakar.
Maka saat ini, AS memilih jadi “pemadam kebakaran yang membawa obor”: bisa memadamkan api, tapi juga bisa membuatnya membesar. Dan dunia hanya bisa berharap, pilihan akhirnya bukan kobaran yang lebih luas.***
(Tim smartrt.news/anang/ berbagai sumber)