Bayi dalam Plastik di Balikpapan, Potret Luka Sosial yang Perlu Disembuhkan
Bayi ditemukan di Sungai Klandasan Balikpapan / foto : ilustrasi
Smartrt.news, BALIKPAPAN – Balikpapan diguncang oleh kabar memilukan: ditemukannya orok bayi dalam kantong plastik merah, hanyut di aliran sungai Klandasan di Kelurahan Gunung Sari Ilir, RT 36, Kecamatan Balikpapan Kota, belakang Hotel Pacific.
Penemuan terjadi sekitar pukul 08.00 WITA Selasa pagi (30/9/2025). Orok bayi tersebut ditemukan dibungkus dalam kantong plastik (kresek merah) beserta tali pusar dan tembuni (selimut bayi).
Polisi dan tim Inafis telah mengevakuasi jasad bayi dan membawa ke RSUD Kanujoso Djatiwibowo untuk pemeriksaan medis atau visum.
Dari pemeriksaan awal, polisi memastikan bahwa orok bayi itu berjenis kelamin laki-laki. Usia kandungan bayi diperkirakan berada di kisaran tujuh hingga delapan bulan kandungan, meskipun angka pastinya masih menunggu hasil pemeriksaan medis.
Polisi masih menyelidiki asal-usul bayi tersebut dan mengumpulkan keterangan dari warga sekitar. Â Polisi mengimbau warga yang merasa kehilangan atau memiliki informasi terkait bayi itu untuk segera melapor ke Polresta Balikpapan melalui Call Center 110 atau petugas terdekat.
Polisi hingga kini belum menyimpulkan penyebab pasti atau siapa yang membuang bayi tersebut. Penyelidikan masih intensif dilakukan bersama tim medis dan Inafis Polresta Balikpapan. Â Ada laporan bahwa bayi yang ditemukan merupakan janin berusia 5-6 bulan, bukan orok yang sudah lahir penuh.
Di Balik Kabut Tragedi
Berita ini bukan sekadar fakta kriminal, tetapi sebuah potret luka sosial yang menggores nurani bersama. Di balik tubuh mungil yang tak sempat merasakan hangatnya dunia, tersimpan cerita getir tentang kemiskinan, keterdesakan, stigma, atau mungkin putus asa.
Kita sering bertanya, bagaimana seorang ibu tega membuang darah dagingnya sendiri? Pertanyaan itu wajar, namun terkadang kita lupa bahwa keputusan tragis sering lahir dari lingkaran masalah yang rumit. Tekanan ekonomi, ketidakpastian masa depan, hubungan yang tak sehat, atau bahkan ketakutan akan stigma sosial bisa membuat seseorang kehilangan jalan pulang.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak boleh hanya diukur dari gedung yang menjulang atau jalan yang mulus. Ia juga harus menyentuh sisi paling rapuh dari masyarakat: perempuan yang hamil tanpa dukungan, anak-anak yang lahir tanpa kepastian, dan keluarga yang goyah menghadapi tekanan hidup.
Orok yang ditemukan di Balikpapan seolah sedang “berbicara” kepada kita: bahwa ada bagian masyarakat yang terpinggirkan, yang tak cukup terlindungi oleh sistem sosial kita. Bahwa ada ruang kosong di mana seharusnya hadir tangan-tangan pengasih, tetapi yang ada justru sunyi dan putus asa.
Kasus ini menuntut refleksi kolektif. Aparat memang tengah bekerja mencari kebenaran, tapi lebih jauh dari itu, kita sebagai masyarakat harus berani menengok akar masalahnya. Pendidikan seksualitas yang minim, akses kesehatan ibu dan anak yang terbatas, serta kurangnya ruang aman bagi perempuan menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Sebab setiap bayi yang lahir—apa pun latar belakangnya—berhak hidup dengan martabat. Setiap ibu yang mengandung berhak mendapat perlindungan, bukan penghakiman. Dan setiap masyarakat yang beradab seharusnya menjadikan kasih sayang sebagai hukum pertama dalam menghadapi tragedi seperti ini.
Pada akhirnya, orok di Balikpapan bukan hanya kisah tentang kematian, melainkan panggilan bagi kita untuk lebih peduli, lebih peka, dan lebih manusiawi. Karena seharusnya tidak ada lagi bayi yang lahir hanya untuk ditinggalkan, tidak ada lagi tangisan pertama yang sekaligus menjadi tangisan terakhir.
