Banjir di Balikpapan: Krisis Iklim Perkotaan yang Butuh Solusi Menyeluruh

Personel BPBD melakukan evakuasi warga yang terjebak banjir.(Foto: smartrt.news/rama)
Smartrt.news, BALIKPAPAN – Balikpapan, sebagai kota penyangga ibu kota negara dan pusat ekonomi strategis di Kaltim, tengah menghadapi tantangan serius berupa banjir yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir.
Hujan deras yang mengguyur kota ini kerap kali menimbulkan genangan luas, melumpuhkan aktivitas warga, serta mengakibatkan kerugian materil yang tidak sedikit.
Lebih dari sekadar fenomena musiman, banjir di Balikpapan merupakan cermin dari kompleksitas persoalan tata ruang, degradasi lingkungan, dan lemahnya sistem infrastruktur kota yang belum mampu mengikuti laju perkembangan wilayah.
Oleh karena itu, banjir tidak lagi bisa dianggap sebagai bencana alam semata, melainkan sebagai krisis tata kelola perkotaan yang menuntut solusi terpadu dan berkelanjutan.
Akar Permasalahan: Lebih dari Sekadar Curah Hujan Tinggi
Secara klimatologis, curah hujan tinggi memang menjadi pemicu utama banjir. Namun, penyebab banjir di Balikpapan jauh lebih kompleks dari itu. Pertama, sistem drainase kota yang sebagian besar masih mengandalkan saluran tersier tidak mampu mengalirkan air dalam volume besar dalam waktu singkat.
Di kawasan MT Haryono maupun kawasan lain , seperti Gunung Malang, hingga Pasar Segar, saluran drainase yang sempit dan tersumbat menjadi langganan banjir setiap kali hujan deras turun selama lebih dari dua jam.
Kedua, faktor sedimentasi dan penyumbatan drainase menjadi masalah krusial. Pembukaan lahan secara masif di kawasan perbukitan menyebabkan limpasan air permukaan (run-off) membawa tanah, lumpur, dan material organik ke saluran air, mempercepat pendangkalan dan memperparah genangan.
Banyak bendali, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ampal dan DAS Gunung Samarinda, kehilangan fungsinya karena tertimbun sedimentasi.
Ketiga, alih fungsi lahan secara masif turut memperparah persoalan. Berdasarkan data Dinas PUPR Balikpapan, dalam kurun 2015–2025, lebih dari 400 hektare hutan kota dan sempadan sungai telah berubah menjadi kawasan pemukiman atau komersial.
Ironisnya, banyak proyek pengembang properti tidak menyertakan sistem pengendali banjir seperti kolam retensi atau bendali sementara yang sesuai standar. Akibatnya, air hujan tidak lagi terserap tanah, melainkan langsung mengalir ke jalan dan pemukiman di dataran rendah.
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Dampak banjir di Balikpapan tidak hanya terlihat dari sisi fisik, tetapi juga memengaruhi aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Genangan air setinggi 30–60 cm yang kerap terjadi di kawasan padat seperti MT Haryono menyebabkan kemacetan parah, menghentikan mobilitas warga, dan mengganggu distribusi barang.
Pada peristiwa banjir 19 Juni 2025, beberapa ruas jalan utama lumpuh total selama lebih dari 6 jam. Tak sedikit warga yang terjebak dan kendaraan mereka mengalami kerusakan berat.
Di sisi lain, banjir juga menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. UMKM, terutama warung makan, toko kelontong, dan pelaku usaha kecil, harus menutup usaha selama banjir terjadi.
Selain itu, banjir juga memicu kerusakan pada aset warga seperti perabot rumah tangga, kendaraan, serta dokumen penting. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga psikologis, karena masyarakat hidup dalam kecemasan setiap musim hujan.
Secara ekologis, banjir juga merusak keseimbangan lingkungan. Air yang meluap membawa limbah domestik dan sampah ke badan air dan pantai, mencemari ekosistem pesisir yang menjadi rumah bagi banyak spesies laut.
Drainase yang tercemar juga menjadi sarang penyakit, meningkatkan risiko demam berdarah, leptospirosis, dan infeksi kulit di kalangan masyarakat yang terdampak.
Upaya Penanganan: Reaktif dan Parsial
Pemerintah Kota Balikpapan sebenarnya telah melakukan berbagai langkah penanganan banjir. Tim reaksi cepat dari BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, serta DPU PR rutin diterjunkan ke titik-titik rawan genangan untuk melakukan evakuasi, pembersihan saluran, dan pemompaan air.
Namun, sebagian besar penanganan yang dilakukan bersifat reaktif dan parsial, belum menyentuh akar persoalan struktural yang menjadi penyebab utama banjir.
Misalnya, normalisasi saluran dan pengerukan bendali memang penting, tetapi tanpa upaya membatasi pembukaan lahan baru dan memastikan reboisasi kawasan hulu, sedimentasi akan terus terjadi.
Begitu pula dengan proyek drainase, yang seringkali hanya menyasar daerah bawah, tanpa mempertimbangkan desain drainase terpadu dari hulu ke hilir.
Solusi Jangka Panjang: Tata Ruang, Regulasi, dan Partisipasi Publik
Mengatasi banjir di Balikpapan memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan tiga aspek utama: tata ruang berkelanjutan, penguatan regulasi, dan partisipasi publik.
Pertama, pemerintah daerah perlu meninjau ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan memprioritaskan konservasi kawasan resapan air. Pembukaan lahan baru harus dihentikan sementara hingga sistem pengendalian banjir benar-benar mapan.
Kedua, regulasi terhadap pengembang perumahan harus diperketat. Setiap pembangunan harus dilengkapi kolam retensi, bendali, dan sistem drainase mandiri sebelum izin operasional diterbitkan.
Pemerintah juga harus mempercepat proses serah terima Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) dari pengembang ke Pemkot, agar pengelolaan drainase bisa dilakukan dengan baik.
Ketiga, keterlibatan masyarakat sangat penting. Edukasi publik soal pentingnya menjaga saluran air dari sampah rumah tangga, serta pentingnya menanam pohon di pekarangan, dapat menjadi langkah kecil dengan dampak besar.
Partisipasi komunitas dalam monitoring daerah rawan banjir juga dapat membantu pemerintah mendapatkan data real-time.
Banjir di Balikpapan bukan lagi ancaman musiman, tetapi bagian dari krisis iklim dan tata kelola kota yang perlu disikapi serius. Hanya dengan komitmen lintas sektor—antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat—kita bisa menciptakan Balikpapan yang lebih tangguh menghadapi perubahan iklim.
Jangan sampai kota ini kehilangan daya saing dan kenyamanan hanya karena abai terhadap urusan air. Sudah saatnya Balikpapan bergerak dari kota industri menuju kota yang sadar lingkungan, adil secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis.
Penulis : Bram J, Warga Gunung Bahagia Balikpapan