Aparat vs Rakyat

Ricuh
Polisi melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa mahasiswa. (AP/ Achmad Ibrahim)

Jagat maya heboh, mengabarkan pelbagai video, foto dan data. Terkait sejumlah aksi unjuk rasa menolak pengesahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang berujung ricuh. Berujung kekerasan aparat vs rakyat.

Kehebohan di jagat maya, tak seheboh di media massa. Entah mengapa.

Padahal aksi itu berlangsung serentak, marathon di banyak daerah, dan berjatuhan korban. Demonstrasi damai berubah menjadi bentrokan antara massa aksi dan aparat keamanan, menyebabkan sejumlah mahasiswa mengalami luka-luka dan penangkapan. Masygul rasanya.

Berdasar data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang, delapan mahasiswa masih belum diketahui keberadaanya. Lalu, tujuh mahasiswa terluka dan harus dirawat di rumah sakit. Sejumlah kendaraan disita, dan tiga mahasiswa diamankan aparat.

Mengacu data Tempo, delapan jurnalis mahasiswa dan tim medis ikut menjadi korban kekerasan aparat. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Malang Delta Nishfu membenarkan delapan jurnalis mahasiswa, mengalami kekerasan.

Saat kejadian, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang itu mendokumentasikan aksi massa pendemo dalam jarak dekat, di area bundaran tugu balai kota, dengan menggunakan telepon genggam. Tiba-tiba ia diseret. Kejadiannya saat aparat menyerang demonstran.

Aksi Berbuah Korban Luka

Ia menduga, pelaku yang menangkap, memukul, dan menyeretnya itu aparat tidak berseragam, aparat berpakaian preman, sebanyak empat orang. Semua berbadan kekar. Ia tak sempat menghitung aparat berseragam yang ikut mengerumuninya. Demikian laporan Tempo.

Kita tentu sedih, sejumlah aksi berlangsung ricuh. Tak ada yang benar atau salah. Massa aksi merusak dan bahkan membakar gedung, seperti yang terjadi di Malang. Aparat segera bertindak.

Tetapi tindakan represif aparat juga bukan hal yang benar.

Saat membaca berita, menerima beragam data atau menyaksikan video aksi penolakan RUU TNI, hati ini bagai tersayat-sayat. Bagaimana tidak, demonstrasi kerap berujung ricuh. Berbuah jatuhnya korban.

Kita seakan-akan menyaksikan pertandingan kekerasan aparat vs rakyat.

Kita seolah-olah terbiasa melihat rakyat dan aparat diadu domba.

Saban ada aksi besar, termasuk dalam aksi penolakan RUU TNI, ujungnya ricuh. Beberapa korban jatuh.

Dan kita, tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini membuat kesedihan berlipat ganda.

Mahasiswa dan massa dari warga sipil bergabung melakukan aksi, menyuarakan pendapatnya. Tetapi aparat juga melakukan tugasnya. Akhirnya bentrokan, kericuhan nyaris sulit terhindar.

Tuntunan Rakyat Berbayar Mahal

Kita belum menemukan bagaimana format aksi yang tidak merusak, tidak pula ada bentrokan. Belum ada aksi damai yang kemudian  pejabat langsung mengabulkan aspirasi massa, mengabulkan tuntutan mereka.

Faktanya seakan-akan tuntutan rakyat harus membayar mahal, berbayar jatuhnya korban. Harus berbayar kerusakan fasilitas umum. Harus berbayar kekerasan aparat vs rakyat.

Ada apa dengan para pembuat kebijakan negeri ini? Apakah telinga mereka begitu sulit mendengar keinginan masyarakat? Apakah hati mereka tertutup batu besar hingga berkali-kali membuat kebijakan yang berujung aksi penolakan massa. Lalu terjadi kekerasan aparat vs rakyat.

Para pembuat kebijakan seakan hanya bersikap manis saat Pemilu. Merendah, menghiba, mengemis suara. Rakyat bak raja, mendapat pelayanan baik, mendapat ragam kebutuhannya. Bahkan, tanpa rakyat meminta, mereka memberi amplop berisi lembaran cuan merah. Berharap suaranya bertambah.

Tetapi saat jadi, saat mereka duduk di kursi empuknya, membuat kebijakan seenaknya. Lalu, membiarkan terjadi aksi penolakan. Yang berujung timbulnya kekerasan aparat vs rakyat. Siklusnya selalu begitu. Mau sampai kapan?

Agung, pecinta kedamaian