Apakah Perang Dagang Washington-Beijing Berdampak ke Kaltim? Begini Analisa BI

ponton tambang
Ponton memuat komoditas alam Kaltim, batubara. Yang melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kaltim. (Foto:smarrt.news/anang)

SMARTRT.NEWS –  Perang dagang antara Washington dan Beijing mencuatkan kekhawatiran mendalam bagi perekonomian global, termasuk Indonesia.

Lantas apakah dampaknya ikut memengaruhi perekonomian Kaltim?

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltim, Bayuadi Hardiayanto, menganalisa, di Kaltim dampak perang dagang AS – China juga mulai terasa, meski tidak secara langsung.

Sebagai salah satu provinsi penyuplai utama komoditas alam seperti batu bara dan kelapa sawit, Kaltim sangat bergantung pada permintaan dari negara mitra dagang.

“Saat industri di negara mitra dagang kita ikut terganggu, maka permintaan domestik mereka terhadap komoditas seperti batu bara dari Kaltim juga akan ikut menurun,” ungkapnya, pada Kamis (24/4/2025), melalui laman Pemprov. Ia mengingatkan hal itu saat menjadi pembicara ihwal Dampak Perang Dagang AS-China Bagi Ekonomi Kaltim.

Perang dagang ini telah menimbulkan kekhawatiran banyak negara.

Berpotensi Tekan Kinerja Ekspor

Kenaikan tarif impor Amerika Serikat secara langsung membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif di pasar AS. Hal ini berpotensi menekan kinerja ekspor dan cadangan devisa nasional.

Menurutnya selama ini ekspor menjadi salah satu sumber utama cadangan devisa Indonesia. Jika arus devisa terganggu, maka nilai tukar Rupiah dapat tertekan akibat ketidakseimbangan di pasar valuta asing.

Ia menekankan batu bara Kaltim selama ini menjadi sumber energi pembangkit listrik di berbagai negara.

Namun, jika perang dagang menyebabkan perlambatan ekonomi global, maka permintaan energi akan berkurang. Yang berimbas pada penurunan permintaan batu bara dari Kaltim.

Selain itu, kebijakan Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor tinggi hingga 145 persen terhadap produk China juga berpotensi memicu limpahan produk China ke negara lain, termasuk Indonesia.

Produk-produk yang sebelumnya untuk pasar AS, saat ini mencari pasar alternatif.

“Dan Indonesia menjadi salah satu target potensial. Indonesia termasuk negara yang akan kelimpahan produk-produk China,” imbuhnya.

Kebijakan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat pada awal April secara tak langsung menahan mitra dagang Kaltim lainnya.

Ia mencontohkan, seperti Tiongkok, India, dan Filipina, untuk melakukan ekspor ke Amerika.

Meski demikian, kondisi ini bisa menjadi momentum bagi Kaltim memperluas pasar ekspor ke negara-negara nontradisional.

Pemasaran komoditas utama seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO) bisa berganti ke negara-negara ASEAN, Timur Tengah, dan Afrika.

“Negara-negara itu memiliki potensi besar. Meski saat ini dalam hal volume perdagangan masih berada di bawah Tiongkok dan India,” jelasnya. Ketegangan perdagangan global bisa mendorong diversifikasi pasar ekspor untuk menjaga stabilitas ekonomi daerah.

Tinggalkan Komentar