Aksi Tolak UU TNI dan RUU Polri di Jakarta Ricuh Hinga Kamis Malam

Unjukrasa di Balikpapan, tepatnya depan kantor DPRD Balikpapan berlangsung tertib.(Foto:smartrt.news/humas DPRD Balikpapan)
Smartrt.news, JAKARTA,– Unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali bergulir di berbagai daerah hingga Kamis (27/3/2025) malam. Aksi yang berlangsung di Jakarta berujung ricuh, dengan aparat kepolisian membubarkan massa secara paksa menggunakan meriam air (water cannon).
Situasi semakin memanas ketika diketahui ada aparat intelijen yang menyamar di tengah massa aksi dengan membawa senjata api. Senjata tersebut sempat ditembakkan di tengah kerumunan. Tak hanya itu, petugas keamanan dengan persenjataan lengkap melakukan pengejaran hingga ke kawasan Senayan Park. Dalam insiden ini, ambulans yang berusaha memberikan bantuan medis turut mengalami intimidasi. Salah satu petugas medis bahkan mengalami kekerasan fisik dan tas medisnya dirusak saat digeledah secara paksa.
Rekaman video berdurasi 13 detik yang beredar luas di media sosial X menunjukkan ambulans yang dihadang polisi saat hendak memberikan pertolongan kepada korban. “Ambulans diintimidasi enggak bisa lewat, kacau parcok,” tulis akun @Kontras. Kesulitan komunikasi antara tim aksi dan tim medis juga diakui oleh salah satu peserta aksi, Hema. “Kami sempat terputus informasi dengan tim di lapangan, termasuk tim medis,” ujarnya kepada NU Online.
Gelombang Unjuk Rasa di Berbagai Daerah
Aksi protes terhadap UU TNI bukan pertama kali terjadi. Demonstrasi yang melibatkan mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil sudah berlangsung sejak Selasa (18/3/2025). Massa menolak revisi UU TNI yang dianggap disahkan secara tergesa-gesa tanpa melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan. Keputusan DPR RI yang diketuai oleh Puan Maharani untuk mengetok palu pengesahan UU TNI tanpa menemui perwakilan aksi massa semakin memicu kemarahan publik.
Selain di Jakarta, unjuk rasa serupa juga terjadi di Balikpapan. Massa yang tergabung dalam Aliansi Balikpapan Bergerak menggelar aksi di depan Kantor DPRD Kota Balikpapan, Jalan Jenderal Sudirman. Para pengunjuk rasa membawa berbagai spanduk berisi penolakan terhadap UU TNI serta melakukan aksi bakar ban. Pimpinan DPRD Kota Balikpapan akhirnya menemui massa dan menerima aspirasi mereka.
Ancaman Demokrasi: Kritik dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam pengesahan revisi UU TNI yang dinilai sebagai ancaman serius bagi demokrasi. “Disahkannya RUU TNI merupakan tanda kemunduran demokrasi,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida.
Menurut AJI, UU TNI yang baru memberikan wewenang lebih luas bagi militer dalam jabatan sipil, yang berpotensi merusak prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan. Selain itu, AJI menyoroti perlunya reformasi peradilan militer, terutama dalam menangani kasus anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum. Data tahun 2024 mencatat bahwa TNI menempati posisi kedua sebagai institusi yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Hingga Maret 2025, tercatat sudah terjadi satu kasus kekerasan oleh TNI terhadap jurnalis.
“Anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum seharusnya diadili di pengadilan sipil, bukan peradilan militer, agar hukuman yang diberikan lebih tegas dan memberikan efek jera,” tambah Nany. AJI menegaskan bahwa reformasi UU TNI seharusnya berfokus pada transparansi dan akuntabilitas militer, bukan memperluas wewenangnya dalam ranah sipil.
Proses Pengesahan yang Minim Partisipasi Publik
AJI juga mengkritik DPR RI yang mengesahkan RUU TNI tanpa mendengar aspirasi publik. Sejumlah aksi di berbagai kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Manado, Purwokerto, dan Bandung, menunjukkan penolakan luas terhadap kebijakan ini. Tagar #TolakRUUTNI pun menggema di media sosial sebagai bentuk perlawanan masyarakat sipil.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami dampak negatif dari dominasi militer dalam ranah sipil, terutama pada masa Orde Baru. Pembatasan kebebasan pers, pembredelan media, serta represi terhadap jurnalis dan aktivis menjadi catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
AJI menegaskan bahwa revisi UU TNI seharusnya bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme militer dan memastikan mereka tetap fokus pada pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan politik atau pemerintahan sipil.
Tiga Alasan Penolakan Revisi UU TNI
Berdasarkan analisis AJI, ada tiga alasan utama mengapa UU TNI yang baru harus ditolak:
- Mengancam Demokrasi – UU TNI melemahkan supremasi sipil dan kebebasan pers.
- Menghambat Profesionalisme Militer – Dengan keterlibatan dalam urusan sipil, militer bisa lalai dalam tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara.
- Memperlambat Reformasi Militer – Alih-alih memperbaiki transparansi dan akuntabilitas, revisi UU ini justru membuka celah bagi militer untuk kembali ke ranah sipil.
AJI menyerukan agar masyarakat sipil tetap bersatu dalam menolak UU TNI guna mencegah Indonesia kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter seperti era Orde Baru. “Kami tidak ingin Indonesia berubah menjadi negara dengan junta militer seperti Thailand atau Myanmar,” tegas pernyataan resmi AJI.
Dengan penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat, tekanan terhadap pemerintah dan DPR RI untuk meninjau ulang pengesahan UU TNI semakin besar. Apakah pemerintah akan tetap bertahan dengan kebijakan ini, atau akhirnya mendengar suara rakyat? Hanya waktu yang bisa menjawab.***
(Tim smartrt.news/anang/sumber: nu.or.id, aji, ig dprd Balikpapan)